Mohon tunggu...
Arina M
Arina M Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fadlilah Arina Manasikana

Seperti fajar dan segala harapan yang dipanjatkan, juga senja dengan semua janji ketenangan yang tak pernah ingkar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Seperti Pernah Mengenalnya

7 Juli 2021   07:00 Diperbarui: 7 Juli 2021   07:19 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Hai. Selamat tinggal, semoga tetap baik seperti kau yang selalu baik. Tenang saja, akan kupastikan bahwa aku bahagia. Bukan lagi menyibukkan diri, tapi seperti berjalan sambil melihat pemandangannya. Seperti menyelam sejauh jauhnya, bukan sedalam dalamnya." 

Akhir akhir ini hari hari ku selalu kuisi dengan rasa cemas, gelisah, takut, dan semua kemungkinan kemungkinan buruk yang aku ciptakan sendiri. Seperti tersesat, namun lingkungan ini masih amat kukenali. Kadang juga terasa asing, padahal semesta tetap mengirimkan orang-orang berhati baik seperti kau yang sekarang kupanggil teman agar aku tidak sendiri. Dan itulah yang kesalahanku, bahwa aku tidak pernah menyadari. 

Bisa jadi karna kau yang pandai sekali berbicara. Membual sana sini, mengatakan semua hal bahagia yang bahkan ternyata kau sendiri juga tidak tahu apa artinya. Dan pada akhirnya membuatku hanya berjalan lurus, tanpa menikmati sekelilingku, mempengaruhiku untuk menyamai langkahmu saja hingga aku lupa caranya berlari, mengganti langkah, juga berhenti. Karna bagiku saat itu hanya bagaimana caranya agar kita tetap berjalan beriringan, hanya itu.

Pernah disuatu percakapan yang tetap kuingat sampai saat ini, kau bertanya “maukah kau berjalan denganku?”. Ingat sekali aku dengan wajah polos aku menjawab dengan mantap “pasti.” Tapi kali ini aku tidak ingin bertanya kembali. Perihal mana tanganmu yang menjulur itu, kenapa senyum itu sudah tak bisa kulihat. Tidak, aku tidak akan bertanya. Percuma saja, tidak ada kau sebagai penjawab.

Kali ini meski terkadang masih terasa ragu, dan takut akan langkah tanpa uluran tanganmu ini. Aku tetap nekat melakukannya, membuat alur ku sendiri. Tidak lagi dengan kalimat “kalau kau datang aku persilahkan, kalau tak ingin datang ya sudah.” Tidak lagi. Toh, kalau dipikir kembali ternyata uluran tanganmu itu ternyata tidak nyata, itu hanya lah uluran tangan buah hasil dari jungkir balik pikiranku. Yang sekali lagi tak pernah kusadari.

Aku sempat membenci diriku, membenci pikiran bahwa keadaan ini adalah benar, dan membenci semesta yang telah berbohong. 

Tapi semua tinggal “sudahlah”. Biarkan saja ingatan ini mengingatmu sebagi sosok yang baik, tanpa mengingat perihal uluran tanganmu yang hilang. Dan sekarang yang tersisa hanyalah, aku bahagia. Itu saja.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun