Di era digital yang berkembang pesat di Indonesia, peran influencer sebagai figur publik telah menjadi fenomena sosial aktual yang berrpengaruh besar terhadap perilaku masyarakat. Dengan lebih dari 170 juta pengguna media sosial menurut data We Are Social pada 2023, influencer seringkali menjadi panutan dalam gaya hidup, konsumsi, dan opini publik. Namun, banyak kasus menunjukkan ketidakpedulian terhadap etika sosial, seperti promosi produk tanpa transparasi, penyebaran konten misleading, bahkan konten yang mendorong budaya konsumtif berlebihan dan body shaming. Fenomena ini tidak hanya mengancam kesehatan mental pemirsanya, terutama generasi muda, tetapi juga bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar moral dan hukum bangsa. Sila-sila Pancasila menekankan keadaban dan keadilan, menjadi kompas untuk mengarahkan tanggung jawab influencer. Dalam artikel ini, saya mengkaji etika sosial influencer melalui lensa Pancasila, menyampaikan pendapat pribadi yang kritis dan logis, serta mengajukan solusi reflektif untuk memperkuat nilai-nilai ini di tengah tantangan digital.
  Etika sosial dan tanggung jawab influencer perlu dikaji melalui nilai-nilai Pancasila untuk memastikan kontribusi positif bagi masyarakat. Pertama, sila Ketuhanan Yang Maha Esa menekankan integritas dan kejujuran sebagai dasar kehidupan. Banyak influencer di Indonesia seringkali gagal dalam hal ini, seperti saat mereka mepromosikan produk sponsor tanpa disclosure jelas, yang dapat dianggap sebagai bentuk penipuan etis. Sebagai pendapat pribadi, saya melihat ini sebagai pelanggaran logis terhadap nilai Ketuhanan, karena kejujuran adalah wujud dari iman yang sejati. Contoh aktualnya, kasus influencer yang terlibat dalam skandal promosi judi online, yang tidak hanya melanggar regulasi tetapi juga merusak kepercayaan publik. Kritisnya, jika influencer mengabaikan tanggung jawab ini, mereka justru memperkuat budaya ketidakjujuran di masyarakat yang bertentangan dengan Pancasila yang mengajarkan hidup bermoral.
  Kedua, sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradap menggarisbawahi pentingnya menghormati hak asasi manusia dalam konten digital. Influencer seringkali memengaruhi pemirsanya melalui konten yang idealisasi, seperti filter kecantikan yang berlebihan atau promosi gaya hidup mewah tidak realistis, yang dapat menyebabkan masalah kesehatan mental seperti depresi dan rasa tidak puas diri. Dari perspektif saya, ini masalah etis yang mendalam, karena Pancasila menuntut adab dalam interaksi sosial. Logisnya, influencer memiliki tanggung jawab untuk mempromosikan konten yang mendidik dan empati, bukan yang eksploitatif. Saya berpendapat bahwa tanpa kesadaran ini, polarisasi sosial akan semakin dalam, dimana kelompok rentan seperti remaja perempuan menjadi korban utama. Argumentasi ini didasarkan pada fakta bahwa bisnis digital, seperti platform influencer, harus sejalan dengan nilai kemanusiaan Pancasila untuk menghindari dampak negatif.
  Katiga, sila Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan menantang influencer untuk berkontribusi pada persatuan nasional. Di Indonesia, beberapa influencer memanfaatkan platform mereka untuk menyebarkan konten divisive, seperti diskriminasi rasial atau politik identitas, yang memperburuk ketegangan sosial. Saya secara pribadi merasa prihatin karena ini melawan semangat kerakyatan Pancasila, yang mendorong musyawarah dan kesataraan. Influencer seharusnya menjadi agen perubahan positif, bukan pemicu konflik. Misalnya, selama pandemi COVID-19, beberapa influencer gagal memberikan informasi akurat yang memperparah misinformasi. Dengan mempraktikkan hikmat kebijaksanaan, influencer dapat menggunakan pengaruh mereka untuk mempromosikan kampanye sosial yang menyatukan, seperti literasi kesehatan atau lingkungan.
  Terakhir, sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia menekankan tanggung jawab sosisal dalam bisnis digital. Banyak influencer berfokus pada keuntungan finansial tanpa mempertimbangkan dampak sosial, seperti promosi produk berbahaya atau ketidakadilan dalam representasi kelompok minoritas. Industri influencer harus diatur agar sejalan dengan keadilan sosial, karena Pancasila menjamin hak yang adil bagi semua. Secara beretika, ini berarti influencer perlu transparan tentang sponsor dan berkontribusi pada isu-isu seperti inklusi gender atau pembangunan berkelanjutan. Jika tidak, ketimpangan sosial akan semakin lebar, dimana hanya segelintir orang yang menuai manfaat dari era digital.
  Refleksi atas tantangan etika sosial influencer mengajak kita untuk bertanya: apakah kita sebagai masyarakat Indonesia telah memanfaatkan pengaruh digital untuk memperkuat Pancasila? Saya percaya bahwa ketidakpedulian ini mencerminkan kegagalan kolektif dalam menerapkan dasar moral bangsa yang pada akhirnya mengancam keharmonisan sosial. Untuk mengatasi ini, saya mengusulkan solusi yang komprehensif. Pertama, pemerintah harus memperkuat regulasi, seperti memperbarui UU ITE untuk mencakup standar etika influencer, termasuk verifikasi konten sponsor. Kedua, lembaga pendidikan dan platform digital dapat berkolaborasi dalam program literasi digital berbasis Pancasila yang mengajarkan etika sosial kepada calon influencer. Ketiga, sebagai individu dan pemangku kepentingan, kita harus mendukung influencer yang bertanggung jawab melalui kampanye sosial media yang promosi nilai-nilai Pancasila.
  Dengan demikian, menghidupkan nilai-nilai Pancasila ditengah tantangan ini bukanlah mustahil, melainkan panggilan untuk aksi bersama. Jika influencer dan masyarakat berkomitmen, kita dapat mentransformasi dunia digital menjadi ruang yang etis dan inklusif, membangun Indonesia adil dan bermartabat.
Referensi
We Are Social. (2023). Digital 2023 Indonesia Report. We Are Social and Hootsuite.
https://wearesocial.com/id/blog/2023/01/digital-2023/
APJII. (2023). Survei Pengguna Internet Indonesia 2023. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia.