Mohon tunggu...
Ari Indarto
Ari Indarto Mohon Tunggu... Guru Kolese

Peristiwa | Cerita | Makna

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Zaman Kalabendu di Negeri Hantu

20 Agustus 2025   13:39 Diperbarui: 20 Agustus 2025   13:39 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalabendu. Hari ini begitu gelap. Kegelapan datang bukan karena kemiskinan, atau kehidupan tanpa pangan. Jutaan rakyat masih saja puas dengan beragam makanan, dan aneka minuman dengan bersendok-sendok gula menandai kemakmuran. 

Tiba-tiba suasana menggelap, tidak ada lagi cahaya menusuk celah-celah jendela, apalagi memanaskan ruang tamu. Seharian, di hari ini tiba-tiba ruangan menghitam tanpa ratapan, dan semuanya tetap terdiam memandang gunungan utang yang tak sanggup dibayarkan. Kita saling pandang, tanpa sanggup memikul beban menghantam. 

Di rumah ini tidak ada lagi yang sanggup berbicara. Tidak ada suara orang tua memberi nasihat sang buah hati. Tidak ada lagi suara ibunda yang begitu tekun menemasi si kecil di pangkuan. Tidak ada lagi suara teriakan anak-anak bermain mobil-mobilan di teras rumah. Hari ini rumah ini tak lagi tersisa tawa lepas sang penghuni. 

Tak lagi tampak hiasan indah di dinding, ketika pecahan kaca berserakan dengan amarah sapu menyaru dinding. Kosong tanpa hiasan dinding-dinding penuh luka sayatan sang penghuni dalam kemarahan. Sementara meja kursi tak sanggup lagi menceritakan kesedihan yang melanda rumahku. Berandakan dalam tatanan aturan membeku tak berkesudahan. Hunian maha indah yang konon tercipta dengan kasih sayang tak lagi menyisakan harapan untuk terus bertahan. Semua penghuni tersingkir dan terusir, terpinggirkan. 

Hunian maha indah yang konon tercipta dengan kasih sayang tak lagi menyisakan harapan untuk terus bertahan. Semua penghuni tersingkir dan terusir, terpinggirkan.

Tidak ada lagi yang sanggup bertahan di rumah ini. Tidak ada lagi pengharapan yang tersisa ketika kita harus menahan beban sang penguasa. Bukan hanya rumah ini, rumah-rumah di sekeliling kami tak lagi berpenghuni saat satu persatu mulai pergi dalam beban utang dan pajang yang terus menghantam rumah-rumah impian. Saat perjuangan hidup tak lagi sanggup ditegakkan, sementara pajak tak sanggup lagi mengiba, hanya bantuan sosial yang setiap hari diterima. Makanan berlimpah tetapi ratapan kehinaan menyelimuti rumah-rumah sepanjang desa. 

Akhir Kalabendu

Rumah-rumah desa di negeri hantu itu sepi. Sepanjang jalan tak ada kehidupan, karena warga desa terhina dan mulai mengasingkan di tengah hutan desa. Satu per satu desa-desa mulai menghantu, sepi tanpa kehidupan rakyat yang sanggup bertahan dalam tatanan ekonomi. Satu per satu warga kampung menyerah menjadi warga negara, kabur meninggalkan kehidupan semestinya. Tak ada lagi berkarung-karung bantuan sosial, sementara cekik pajak tak sanggup dibayarkan. 

Lagu-lagu cinta menghilang, musik-musik indah lenyap. Kehidupan telah sirna dalam jalinan penderitaan yang tak sanggup tercipta. Aku ternyata telah hidup di negeri hantu, negeri kebohongan, negeri dusta penuh pesona. Saat penguasa-penguasa negeri hantu tak sanggup lagi menjadi tatanan manusia, keserakahan telah membungkam rakyat tak berdosa. Sementara kebaikan seolah-seolah menjadi jimat keramat tersembunyi dalam setiap tatanan kehidupan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun