Mohon tunggu...
Ari Santoso
Ari Santoso Mohon Tunggu... -

Sy hanya orang yang ingin belajar ^^

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hikmah dari "Just for Laugh"

22 November 2010   06:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:24 1194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Just For Laugh” adalah judul suatu acara komedi yang sering saya tonton ketika sedang bepergian dengan pesawat udara maskapai penerbangan nasional kita. Sesuai dengan judulnya, acara tersebut merupakan kumpulan video-video pendek yang inti acaranya adalah “menjahili” orang lain sehingga tercipta suatu kejadian yang lucu & bisa mengundang gelak tawa penontonnya.

Beberapa kali saya menonton acara tersebut, ada satu pola menarik yang saya jumpai di hampir setiap penanyangannya. Pola unik tersebut adalah bahwa di hampir sebagian besar alur cerita usilnya, tim kreatif acara ini selalu melibatkan orang-orang sekitar untuk dimintai tolong melakukan sesuatu hal. Nah, saat sedang dimintai tolong itu lah biasanya inti kejahilannya dimulai. Dan uniknya, orang-orang yang dilibatkan tersebut adalah benar-benar khalayak umum biasa seperti para pejalan kaki yang sedang melintas di trotoar atau orang-orang yang sedang berseliweran di suatu pusat perbelanjaan. Ya betul, mereka adalah para “korban” yang memang menjadi sasaran target kejahilan acara ini.

Suatu kali, saya menonton suatu episode Just for Laugh dimana digambarkan ada seorang Ibu bersama anaknya sedang berdiri di tengah-tengah keramaian suatu pusat perbelanjaan. Ibu dan anak perempuan ini adalah warga berkulit putih dengan rambut pirang keemasan. Sang anak kira-kira masih berusia 5 tahun. Adegan jahil dimulai saat sang Ibu berupaya menarik perhatian orang yang lewat & memanggilnya. Setelah mendapatkan calon “korban”, ibu ini berpura-pura hendak ke toilet dan meminta tolong kepada si “korban” untuk sementara waktu menjagai anaknya. Setelah mengiyakan permintaan ibu tersebut, “korban” bersama sang anak yang ditinggal itu berdiri sambil menunggu ibunya kembali dari kamar kecil. Tak lama kemudian, segera muncul lagi aktor lainnya yang menghampiri sang “korban” sambil berpura-pura tersesat & menanyakan petunjuk arah kepadanya. Di tengah kelengahan sang korban yang sedang terlibat obrolan bersama orang asing itu, dengan lincahnya si anak perempuan tadi lari & bersembunyi di balik suatu meja yang terletak tidak jauh dari mereka. Bersamaan dengan “hilangnya” bocah tadi, masuk lah seorang pemeran anak perempuan lain menggantikan posisinya. Baju & dandanan anak perempuan baru ini sama persis dengan anak yang barusan menghilang itu, hanya saja yang membedakan mereka adalah warna kulitnya. Bocah perempuan yang baru saja masuk ini adalah seorang negro dengan rambut ikal, tidak lagi berwarna pirang keemasan.

Tak lama setelah itu, orang asing yang tersesat tadi segera berpamitan dengan “korban” & mundur dari adegan. Tak pelak lagi, begitu menoleh ke arah anak yang luput dari pengamatannya tidak lebih dari 1 menit itu, sang korban terkejut bukan main mendapati bocah yang tadinya berkulit putih & berambut pirang keemasan kini sudah berubah menjadi anak perempuan negro dengan rambut ikal berwarna hitam. Kebanyakan wajah korban langsung berubah terkejut & keheranan setengah mati. Kondisi diperparah dengan kembalinya si ibu empunya anak. Dengan kemampuan bersandiwaranya, sosok ibu tersebut langsung tampak memarahi habis-habisan si “korban”. Tentu saja, “korban” kehabisan kata-kata & tidak tahu harus memberi penjelasan apa sebab kejadian barusan itu saja masih tidak masuk akal bagi dia sendiri. Inilah titik klimaks adegan episode tersebut, dimana para kru film berhasil mengerjai korban sehingga mereka kebingungan, panik, & kikuk. Akhirnya rentetan adegan jahil ini ditutup seraya sang pemeran ibu itu merangkul bahu para “korban” dan menunjuk ke arah beberapa kamera tersembunyi yang ternyata dari tadi tidak luput merekam setiap gerak gerik “korban”. Situasi menjadi cair kembali sambil diiringi tawa lepas dari korban dan para kru film.

Dari contoh adegan Just For Laugh di atas -seperti yang sudah saya sampaikan di atas- saya menemukan suatu hal yang menarik yaitu bahwa dalam sebagian besar skenario jahilnya, para korban dikerjai dengan cara dimintai tolong untuk melakukan sesuatu hal oleh para kru film yang sedang menyamar. Seperti contoh klip di atas, ada korban yang dimintai bantuan untuk menjagai anaknya sementara sang ibu pergi ke kamar kecil. Lantas, pertanyaan besar yang menggelitik pikiran saya adalah: “Hei, kok mereka mau ya dimintai tolong seperti itu?”. Tentu saja semua skenario jahil itu tadi akan hancur berantakan kalau saja para calon korban tidak bersedia untuk dimintai tolong, bukan?

Kalau saya bandingkan dengan apa yang ada di Indonesia, cerita nya sedikit berbeda. Di negeri ini, sebenarnya acara-acara komedi jahil & usil seperti Just For Laugh itu juga cukup populer & sama sekali bukan lah hal yang baru. Di akhir era 90an sempat ada suatu acara yang bertajuk SPONTAN. Isi acaranya juga sama, yaitu mengerjai & mengusili para mangsa. Kalau tidak salah, saat ini pun ada beberapa judul acara dengan tema sama yang masih tayang di stasiun televisi swasta kita. Namun satu hal yang membedakannya adalah: jarang sekali saya jumpai ide usil yang diangkat bertajuk “meminta tolong” kepada korban. Yang kebanyakan terjadi adalah para mangsa tersebut justru dikerjai lewat suatu kejadian spontan, seperti: menyemprot korban dengan selang air tersembunyi atau mengejutkan korban dengan boneka king-kong yang tiba-tiba muncul di tengah-tengah mall.

Lewat perbandingan sederhana ini, saya sempat termenung dan berpikir barangkali memang tidak mudah untuk menerapkan tema  “meminta tolong” untuk acara usil seperti itu di Indonesia. Betapa tidak, di negeri ini jika tiba-tiba ada orang asing yang datang menghampiri dan meminta tolong menitipkan anak nya kepada kita, tidak kah hal ini akan membuat kita berpikir beberapa kali sebelum mengiyakannya? Ya kalau orang asing tersebut memang berniat baik, kalau dia punya niat jahat untuk menipu kita, kan kita jadi malah repot? Ya kalau anak yang mau dititipkan itu memang anaknya, kalau anak itu anak “hasil” penculikan, bagaimana? Bisa-bisa kita yang dituduh dan harus berurusan dengan pihak yang berwajib apalagi bila kita didapati sebagai pihak terakhir yang berada di samping anak itu.

Singkat kata, setelah saya pikir-pikir lagi, memang beginilah budaya yang melekat di sebagian besar masyarakat kita. Kata orang tua kita “Jangan lah mudah percaya dengan orang, apalagi dengan orang asing yang baru dikenal”. Di layar kaca setiap harinya kita bisa jumpai kasus-kasus penipuan yang dilakukan oleh oknum yang lihai menipu para korban dengan berbagai cara. Salah satu cara menipu yang cukup populer adalah dengan cara bersikap akrab dan ramah dengan calon korban. Lalu hingga pada timing yang tepat dimana rasa percaya telah muncul di benak korban sehingga menjadi lengah, di saat itu lah sang penipu beraksi. Aksinya bisa bermacam-macam, mulai dari menggondol duit, perhiasan, sertifikat rumah, motor, atau mobil.

Meskipun negeri ini terkenal dengan ramah-tamah nya, namun ternyata di balik semua keramahan itu kita tetap perlu waspada dan memang tidak mudah untuk menolong orang, apalagi orang asing yang baru kita kenal. Niat kita memang mau menolong, tapi bisa-bisa kita yang malah ditodong :) Tak heran jika tayangan Just for Laugh versi Indonesia jarang sekali menyuguhkan tema “meminta tolong” kepada korban. Tayangan tersebut bisa jadi hancur berantakan gara-gara tidak ada calon korban yang bersedia memberikan pertolongan yang diminta oleh para orang asing (baca: para kru film).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun