Mohon tunggu...
A Zainudin
A Zainudin Mohon Tunggu... Lainnya - Penyuka Sastra

Menulis sesuai kata hati.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kisah Ibuku (01): Tjalon Goeroe

13 Agustus 2020   00:22 Diperbarui: 13 Agustus 2020   01:22 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi , Sumber: sejarahjakarta.com

Aku tidak bisa berhenti.  Siapa pun tidak bisa mencegahku untuk terus berjalan menggapai cita-citaku.  Hidup tidak lagi dibatasi tembok kanan kiri depan belakang dan berakhir di pelaminan.  Seperti kata Simbok.

"Perempuan itu dibatasi kasur, dapur, dan sumur.  Tidak usah banyak keinginan.  Suatu saat laki-laki akan jadi pelindungmu dan tempatmu mengabdi."

Aku bergeming.  Bagaimana bisa aku meletakkan cita-citaku sementara aku tahu ada dunia luas di luar sana? Dunia yang bisa membuatku bisa memilih.

"Kita bisa memilih apa pun keinginan kita, Is. Syaratnya cuma satu.  Jangan berhenti sekolah.  Karena dengan sekolah, pintu dunia terbuka untuk kita." Kata Yu Kunir terngiang-ngiang di pikiranku.  Juga buku dan majalah yang sering kupinjam darinya.  Saat itu aku masih kelas 4 Sekolah Rakyat.  Semakin banyak yang kubaca, semakin banyak kleinginanku yang ingin kuraih.  Juga Yu Kunir yang kulihat semakin mengagumkan.  Senang sekali kalau melihat dia pagi-pagi mengendarai sepeda besar berkerudung dan berkebaya menuju sekolahnya.  Yu Kunir meneruskan sekolah di PGA-4 tahun (setingkat SMP).

Aku suka sekali melihat sorot matanya yang tajam dan penuh percaya diri.  Dia tak peduli meskipun untuk bersekolah, dia harus menempuhnya sendiri karena teman-temannya berhenti sekolah, bahkan banyak yang kawin sebelum menyelesaikan sekolah rakyatnya.

Ternyata untuk mengikuti jejak Yu Kunir, aku harus berhadapan dengan tembok penghalang yang dibangun simbokku sendiri.  Tiba-tiba saja, sore itu seorang laki-laki bertamu ke rumah dan aku dipaksa Simbok menyuguhkan minuman hangat.  Saat aku ke depan, sepertinya laki-laki itu tidak lepas memperhatikanku hingga aku jengah.  Segera aku ke belakang dengan wajah masam.  Aku tanya Simbok, siapa laki-laki itu.  Simbok menegaskan bahwa dia ingin mengawiniku.

Aku menolak mentah-mentah tentu saja.  Kubilang kalau aku ingin sekolah, tidak bisa menikah sekarang.  Simbok tidak terima.

"Umur 12 tahun bagi wanita adalah saatnya berumah tangga. Tidak perlu sekolah, karena menikah itu lebih indah.  Tak ada gunanya sekolah kalau toh nanti akan kautinggalkan demi suamimu." Kata Simbok mulai berpidato.  Aku diam, tidak menyahut. Tapi jelas, nasehat itu tidak bisa kuterima.

Kutanyakan bapak.  Kubilang aku ingin terus sekolah dan tak mau menikah dulu.  Bapak bilang laki-laki itu sudah dijodohkan denganku dan keluarga kedua belah pihak setuju.

"Tapi aku tidak setuju, Pak"protesku.  Bapak diam.  Sementara ibuku terus membujukku dan memarahiku.  Sepertinya tak ada yang mendukungku. Aku tidak terima, sepertinya aku harus ada usaha.

Besoknya kampungku geger karena Bapak dan Simbokku mengabarkan kepergianku.  Aku lenyap.  Simbok menangis, bapak ke sana kemari mencari keberadaanku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun