Mohon tunggu...
A Zainudin
A Zainudin Mohon Tunggu... Lainnya - Penyuka Sastra

Menulis sesuai kata hati.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan yang Melawan dengan Api

5 Agustus 2020   07:47 Diperbarui: 5 Agustus 2020   08:11 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: sumber: indosport

Tubuhku masih lincah mengejar bola sementara lawanku sudah mulai kelelahan.  Serangannya sudah menurun ketajamannya.  Penyakit pemain menyerang mulai menghinggapinya, sering mati sendiri dan cepat-cepat ingin mematikanku yang menjadi bumerang baginya.  

Bahkan, menjelang akhir set ketiga, aku mulai berani meningkatkan tempo permainan dengan memainkan bola-bola cepat.  Langkahnya makin tersendat.  Nafasnya semakin berat.  Wajahnya mulai terlihat penat.  Saatnya mengakhirinya.

Akhirnya kesempatan itu tiba.  Sebuah serangan tiba-tibaku tak mampu diantisipasinya dengan baik.  Tanpa sempat bergerak, dia membiarkan bolaku menyentuh lantai di area permainannya.  Angka kemenangan kuraih.

Aku menjerit histeris.  Tanganku kuangkat tinggi-tinggi.  Mataku bercampur antara kemarahan dan kebahagian.  Mataku mulai dipenuhi air mata namun wajah dinginku tetap terjaga.  Setelah bersalaman dengan lawanku, kembali kupandangi dia.  Kali ini dia seperti tersadar, dan memandangku juga.

Setidaknya dia tahu, bahwa aku sudah berhasil melawannya.  Setidaknya dia sadar, bahwa sebelum aku, sudah ada pemain legendaris negeri ini yang juga bertubuh mungil yang di awal kemunculannya sudah mampu membuat sulit Susi Susanti.  

Dia melupakan itu.  Dia merasa bahwa tidak ada lagi pemain setipe Susi Susanti yang harus dicarikan  lawan tangguh dengan menciptakan tiruannya.  Pemain yang mirip Susi.  Saat pemain itu mundur dengan medali emas olimpiadenya, Susi sudah lebih dulu mundur.  Maka kebutuhan pemain mungil tidak diperlukan lagi.  Aku dicampakkan.

Barangkali tak tahan kupandangi,  dia melengos dan berjalan ke luar arena sambil sesekali memandangi pemain asuhannya.  Lawanku barusan.  Pemain yang saat aku meninggalkan negeri ini masih level yunior.

Di belakangku sayub-sayub mulai terdengar teriakan dari tribun penonton.

"Pengkhianat. Pengkhianat!"

Aku tidak memedulikannya dan terus berjalan ke podium untuk menerima penghargaan.  Meski hatiku teriris seketika.  Dan untuk terakhir kalinya kupandangi wajahnya yang kini makin menjauh.

'Kau lah yang menyebabkan ini semua," rutuk hatiku kepadanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun