Mohon tunggu...
Arif Rahman
Arif Rahman Mohon Tunggu... Wiraswasta - instagram : @studywithariffamily

Bekerja untuk program Educational Life. Penelitian saya selama beberapa tahun terakhir berpusat pada teknologi dan bisnis skala kecil. Creator Inc (Bentang Pustaka) dan Make Your Story Matter (Gramedia Pustaka) adalah buku yang mengupas soal marketing dan karir di era sekarang.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Naiknya Premi BPJS Ibarat Ganti Spion di Kendaraan yang Pecah Ban

4 September 2019   09:52 Diperbarui: 5 September 2019   04:22 2428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tadinya, saya tergoda untuk tak menyebut pelampiasan, membuat judul yang sarkastis, 'kesumet' karena diprovokasi atas pembelian asuransi kesehatan di BPJS bertahun silam, yang dengan iklas saya bungkus, tapi belakangan justru jadi korban "sarkastisme" program yang kini berjalan acakadul.

Padahal, ketika BPJS disebut haram, saya turut pasang badan untuk membela, bagaimana mungkin program yang memberikan bantuan kesehatan terutama bagi orang kecil ini jadi haram? Buat saya, tujuan kemaslahatannya sudah lebih dari cukup untuk 'mengebiri' banyaknya dalil-dalil yang ada.

Tapi hari ini, alasan untuk membela tereduksi.

Lepas dari penggunaan anekdot sebagai judul yang lebih adem, maka artikel ini bermula dari kantong BPJS kesehatan yang jebol enggak ketulungan besarnya, solusi yang ditawarkan adalah menaikkan iuran. Buat saya, ini ibarat ban motor yang pecah tapi yang diganti kaca spionnya.

Sebagai warga yang berniat menyukseskan program ini, saya berpartisipasi, pun di kantor untuk program ketenagakerjaan.

Tapi soalnya, produk yang sudah dibeli ini, tiba-tiba mengalami kenaikan harga secara sepihak, selain nominal kenaikannya yang bikin miris, lebih dari itu, adalah rasa 'dikadali' oleh proses perniagaan yang enggak fair.

Ketika awal produk ini launching, semua warga diimbau --yang, karena beberapa hal, tampak seperti 'pemaksaan'- untuk membeli produk ini, dengan berbagai benefit yang ditawarkan.

Kemudian penyelenggara program ini defisit, maka harga produk yang sudah deal di transaksikan dengan 'konsumen', dinaikkan. Bolehkah proses perniagaan dilakukan dengan cara ini?

Saya kehilangan kata untuk mencari pembenarannya. Jika saya menjual barang dengan pembayaran bertahap kepada konsumen dengan harga yang sudah final, kemudian ditengah jalan saya menaikkannya sepihak, yang ada, kalau tidak ditampari, saya akan digeret ke pengadilan oleh si pembeli.

Pebisnis yang benar, enggak melakukan ini, dan BPJS kesehatan, yang memang bukan pebisnis, melakukannya, seolah ini benar untuk dilakukan.

Kok bisa?

Pertama, produk asuransi di Indonesia mengalami pertumbuhan yang baik di Indonesia.

Sejak tahun 2011 hingga 2014, aset industri asuransi konvensional mengalami pertumbuhan rata-rata yang mencapai lebih dari 16%, sebagaimana laporan cermati.com, yang mengutip Kepala eksekutif Pengawas IKNB Firdaus Djaelani dalam seminar Insurance Outlook 2016 di Jakarta. 

Sedangkan pada tahun 2015, aset dan investasi industri asuransi konvensional hingga akhir September menunjukkan angka hingga mencapai Rp 765,6 triliun dan Rp 608,6 triliun.

Sementara, ironisnya, defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp 49,3 triliun sejak 2015 (Kompas.com). Ketika perusahaan asuransi swasta berpesta, BPJS bermuram durja.

Ini yang membedakan? 

Sebagai orang yang juga membeli produk asuransi swasta, memang terlihat jelas perbedaan keduanya, terutama dari sisi manajemen klaim.

Perusahaan asuransi swasta sangat ketat untuk proses pendaftaran keikutsertaan, mulai dari klasifikasi usia dan hak atas jumlah klaim yang bisa didapatkan, sampai dengan penolakan jika si pemohon asuransi adalah orang yang sudah sudah teridentifikasi tidak sehat.

Di BPJS, semua itu luluh, orang yang tak pernah memiliki BPJS, tapi karena terindentifikasi penyakit dan harus segera di operasi, maka hari itupun ia bisa mengurus kartunya, dan mendapatkan fasilitasnya, sekalipun baru hari itu pula ia membayar iuran atau preminya. Bukan hanya soal pengobatan, pun terjadi untuk kasus persalinan.

Yang kedua, ini Indonesia, negara yang belum semua masyarakatnya melek hidup sehat. Soal rokok saja, sebagaimana laporan KataData.com, Tiongkok dan Indonesia merupakan pasar rokok terbesar di dunia pada 2018. 

Volume penjualan retail rokok di Tiongkok mencapai 2,35 triliun batang, sedangkan di Indonesia mencapai 316,1 miliar batang pada 2018. Volume penjualan rokok di Indonesia ini meningkat 32,8% dibandingkan 2017 sebanyak 238 miliar batang.

Belum lagi dengan pola menjaga makan atau hidup sehat. Indonesia menduduki peringkat ke 14 dari 15 negara di Asia Pasifik sebagai negara yang paling rendah tingkat kesehatannya, kata Kathryn Monika Parapak selaku Head of Brand and Communication dari PT. AIA Financial (AIA) kepada Kumparan.com.

Artinya, Indonesia adalah negara dengan potensi klaim untuk masalah kesehatan sangat besar, plus, jumlah populasi penduduk yang sangat padat.

Jika ini direspon dengan produk asuransi kesehatan, secara bisnis, adalah peluang yang jelas menjanjikan, tentu, dengan catatan, dikelola dengan manajemen klaim yang benar.

Namun bila sebaliknya, maka angka defisit itu, sebenarnya, yang kita sadari sejak lama dengan sesadar-sadarnya, bukanlah sebuah kejutan.

Tunggu! Nggak bisa dong membandingkan BPJS kesehatan dengan asuransi kesehatan swasta, justru BPJS adalah reinkarnasi dari PT Askses yang merupakan persero, yang mestinya berorientasi profit, menjadi badan hukum publik, dengan misi untuk memberikan jaminan kesehatan.

Ok, kalau itu pembelaannya, kenapa nggak dijadikan pajak aja? Apa beda BPJS kesehatan dengan pajak kalau begitu? Kan tinggal naikin pajak, dan kasih biaya pengobatan gratis ke semua warga yang punya NPWP, kelar perkara.

Beda dong, kan pajak adalah kewajiban warga yang kontrapretasinya sangat umum, bisa kebijakan, bisa gaji pegawai negeri yang mengabdi untuk menata negara, bisa juga infrastruktur, enggak melulu soal kesehatan. Di BPJS kesehatan, itu kan produk kesehatan, yang didapatkan oleh warga yang membayar preminya.

Nah.. loh! Dengan alibi inilah semestinya BPJS Kesehatan itu dikelola layaknya sebuah korporasi profesional, dengan sistem manajemen, terutama soal klaim, yang sesuai dengan orientasinya untuk memberikan jaminan kesehatan dengan organisasi yang sehat.

Jadi, menaikkan iuran BPJS itu wanprestasi, BPJS tidak boleh melakukannya kepada pembayar premi yang sudah sejak lama membeli dengan harga yang sudah disepakati. BPJS boleh menaikkan iurannya, hanya kepada pendaftar yang baru, tidak berlaku untuk pendaftar yang lama.

BPJS juga wajib memperbaiki sistem manajemen klaimnya. Bukan menaikkan jumlah iurannya, apalagi kalau menerima 'pinangan' asuransi dari China.  Kalau begitu sih sama saja beli spion baru untuk motor yang pecah bannya, tetap aja si motor enggak bisa jalan. 

Tak ada pilihan lain, BPJS Kesehatan perlu 'asuransi kesehatan' dan itu berupa perbaikan manajemen klaim yang lebih tertata dan profesional, diberlakukan untuk semua pemegang kartu BPJS yang baru, sejak aturan perubahan itu dilakukan. 

Kondisi 'berdarah-darah' seperti sekarang karena defisit, atas keputusan 'salah perhitungan' di masa lalu, adalah konsekuensi yang harus diterima oleh pemerintah, dan diselesaikan komitmennya selayaknya pebisnis yang bertanggung jawab pada produk yang ia pasarkan. 

Pemerintah wajib menutup defisit, entah dari anggaran mana, mungkin juga kelak dengan menaikkan pajak, whatever , yang jelas bukan dengan menaikkan iurannya. Integritas, kejujuran dan keberanian mengakui kesalahan, klisenya, adalah cara bijak mereduksi sarkastisme. 

Jika sebaliknya, maka artikel serupa ini, akan terus bemunculan dari mana-mana. Karena enggak ada konsumen yang diam, jika produk yang dibeli, bisa di sulap begitu rupa semata karena penjualnya rugi. Dont you?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun