Mohon tunggu...
the arifinman
the arifinman Mohon Tunggu...

i'm the man !

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Dari Praoto, Angon Wedhus sampai Warung Pak ‘Enggot

27 September 2013   14:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:19 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13802657411509755836

Sekitar tahun 1970-an di pasar lombokan pare (pasar cabe) yang terletak di sebelah baratnya pasar induk dulu pernah dipakai sebagai terminal bis yang menyemarakkan suasana. Banyak sekali kendaraan yang singgah di terminal pada waktu itu, mulai dari Becak, Ompreng, Dokar, Motor sepeda onthel sampai Cikar dan Gledhekan. Sedangkan busnya sendiri yang sering mangkal pada waktu itu dinamakan “Bis Baskoro”. Bus yang bentuknya kotak dengan bumper moncong ke depan, trus ada juga bus bermesin diesel ‘Thames Trader yg dibangun dari body truck, biasanya sama orang2 kampung disebut dengan istilah “Praoto”, persis seperti bus sekolah yang ada di London Inggris dan selalu berlalu lalang melangsungkan rutinitas kala itu.

Di sebelah baratnya terminal bus ada sebuah tanah lapang kosong yang berumput dan sering dibuat menggembalakan “Wedhus Gibas (kambing brintik putih) oleh warga kampung setempat, di setiap pinggir tanah lapang banyak ditumbuhi pohon waru, pohon asam Djawa dan sedikit pohon Flamboyan yang enak sekali buat “leyeh-leyeh sambil “glethakan setelah jenuh tersengat sinar matahari, warga sekitar menggembalakan kambing-kambingnya dijalani dengan hati yang bahagia seperti sebuah lyric dari salah satu lagu Koes Plus di Album Pop Djawa

Jo podho nelongso, jamane jaman rekoso…

( janganlah semuanya terlalu bersedih, jaman memang lagi sulit )

Urip pancen angel, kudune ora usah ngomel

( hidup memang sulit, harusnya selalu disyukuri )

Ati kudu tentrem, nyambut gawe karo seneng

( hati harus tentram, bekerja dengan senang )

Ulat ojo peteng, nek dikongkon yo sing temen

( wajah jangan kusam, kalau disuruh lekaslah dilakukan ).

Setelah dirasa lelah karena seharian menggembala kambing-kambingya. Mereka mampir untuk makan disebuah warung yang berada di lokasi sekitar terminal bus tersebut. Warung yang menghadap ke utara itu selalu ramai dan dibuat langganan orang-orang pasar dan para sopir-sopir yang berhenti setelah menempuh perjalanan jauh, Orang-orang pada waktu itu menyebut warung itu dengan sebutan ‘warunge’ Pak ‘enggot’ (mungkin yang dimaksud adalah “warung pak jenggot”), dengan menu special nasi rawon, soto, rames dan bothok ayam..yea silahkan dipilih.

Terminal bus tersebut mulai menghilang disekitar tahun 1980-an dan disitu sekarang berdiri Pasar lombokan sebagai barometer dan sering macet di siang sampai sore hari.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun