Kamar kos itu sempit, pengap, dan cat dindingnya mengelupas di beberapa sudut. Satu kipas angin berdengung malas di langit-langit, seolah ingin ikut menyerah seperti kami, para penghuninya. Tapi justru di tempat itulah, lima mahasiswa dari lima kota berbeda, menemukan rumah kedua mereka.
Aku dari Surabaya kuliah di jurusan teknik sipil. Bersamaku ada Dimas dari Bandung, si humoris jurusan komunikasi; Rino dari Padang, calon guru Matematika yang pendiam tapi selalu siap membantu; Bagas dari Samarinda, mahasiswa ekonomi yang jago masak; dan terakhir, Tigor dari Medan, anak desain grafis yang selalu tidur paling malam karena lembur proyekan.
Kami semua satu kampus, bertemu bukan karena takdir indah, tapi karena sama-sama kehabisan uang dan memilih kos murah 900 ratus ribuan per bulan di daerah Depok. Kamarnya seharusnya untuk dua orang, tapi kami nekat berlima. Kami tidur bergantian, sebagian di lantai, sebagian di kasur kecil yang sudah tipis. Kalau musim hujan datang, atap bocor jadi masalah bersama. Kalau tanggal tua tiba, mie instan jadi menu wajib nasional.
Tapi justru dari keterbatasan itu, kami tumbuh.
Awalnya kami hanya berbagi tempat. Tapi perlahan, kami mulai berbagi cerita, mimpi, dan luka.
Suatu malam, Dimas pulang dengan wajah murung. Ia baru saja ditolak magang di stasiun TV impiannya.
“Gue udah kasih yang terbaik. CV udah gue poles, video profile udah cakep. Tapi tetep nggak dilirik.” Ia membanting tasnya pelan.
Kami diam sejenak. Lalu Bagas bangkit, mengambil sepiring nasi goreng hasil kreasinya sendiri, dan menyodorkannya ke Dimas. “Nggak semua yang lo mau langsung datang. Tapi yang lo butuhin, biasanya udah ada di sekeliling lo. Nih, makan dulu. Jangan marah kelaperan.”
Kami tertawa kecil. Dimas akhirnya tersenyum juga. Malam itu, kami berbicara hingga larut. Tentang mimpi, ketakutan, dan keinginan yang kadang terasa terlalu jauh.
Beberapa minggu kemudian, giliranku yang jatuh.
Proyek kuliahku ditolak dosen pembimbing. Aku lelah, kecewa, dan ingin menyerah. Saat itu aku mulai mempertanyakan: untuk apa aku jauh-jauh dari rumah, menyiksa diri, kalau ujungnya hanya gagal?