Giliran komika kedua adalah Kak Ian yang akan mengajak murid - murid bermain dengan huruf. Mereka dengan lancar mengeja huruf per huruf. Kak Ian menggambar di papan tulis sebuah rumah. "Yang tahu gambar ini, tuliskan di papan tulis ya..." Murid - murid saling pandang. "Gambar apa ini?" Belum ada yang menjawab. "Ini adalah tempat kita tinggal. Apa namanya?" Seorang murid mengacungkan jari. "Apa namanya?" "Talasi, Kak." Begitulah anak - anak, menjawab dengan apa adanya.
Kak Winda mendapat giliran ke tiga. Dengan semangat 45, Kak Winda memulai pengenalan warna dengan mengajak menyanyi lagu Balonku. Kemudian mereka diajak main tebak - tebakan warna. "Ini warna apa?" "Kuninggggg..." "Ini warna apaaa?" "Meraaahhh.." "Kalau ini?" Kak Endang menunjuk sebuah warna ungu. "Purple." Kak Endang terperangah dengan mulut menganga lebar. Begitulah anak - anak, jawaban mereka melewati batas - batas negara.
Giliran terakhir, saya mengajak mereka untuk mengenal berbagai macam profesi. Saya bawakan gambar dari macam - macam profesi. "Ini gambar apa?" Serentak mereka menjawab, "Polisiiiii." "Kalau ini?" "Pak tentaraaaa." "Siapa mau jadi tentara?" "Sayaaaaa." Sebuah gambar nelayan mencari ikan saya tunjukkan kepada mereka. "Siapa yang tahu apa ini?" "Kapal, Kak." "Bukan kapalnya, yang cari ikan namanya apa?" Diam semua. "Ne...." Masih diam semua. "Ne...." "Nenek, Kak.". Kemudian saya tunjukkan gambar seorang artis. "Boy, anak jalanan, Kak." Begitulah anak - anak, menjawab dengan jujur.
Di akhir sesi 1000 Guru Malut memberikan donasi berupa sepatu dan tas ke masing - masing murid. Wajah - wajah sumringah memancar ke semesta.
Sore hari setelah hujan deras, kitapun berpamitan pulang. Murid - murid masih memakai name-tag yang terbuat dari karton dengan berbagai macam bentuknya, mengantarkan dipinggir jalan. "Kak, kalau mandi boleh dilepas gak ini?" Sambil menunjuk name-tag mereka. Begitulah anak - anak.
Malamnya kita menginap di SDN Todapa. Saya yakin bagi sebagian besar relawan, tidur dengan beralaskan matras, antri mandi, makan bareng - bareng, gelak tawa lepas, naik mobil bak terbuka, malam hari dengan penerangan seadanya, adalah sesuatu yang sudah bertahun - tahun tidak mereka lakukan. Atau bahkan ada yang belum pernah mengalami sama sekali. Ini akan menjadi pengalaman berharga atau buruk, tanya saja pada rumput yang joget poci - poci.
Keesokan paginya, sebuah pulau kecil di dekat Tidore, Pulau Filonga menjadi tujuan traveling kita. Semua terlihat semangat sekali menuju Filonga. Gerimis tidak menghalangi niat kita. Speedboatpun melaju menuju Pulau Filonga. Ditengah perjalanan hujan mulai menderas, ombak menghentak - hentak. Mendekati Filonga, hujan menjadi - jadi. Kata Si Motoris, speedboat tidak bisa masuk ke Pulau Filonga. Â "Yaahhhh....." Koor pasrah dari relawan beradu dengan derasnya hujan. Untuk mengobati kekecewan akhirnya speedboat diarahkan menuju Pulau Maitara, pulau yang diabadikan di selembar uang seribuan. Meskipun tidak seindah Pulau Filonga, lumayanlah bisa snorkeling melihat ikan dan karang hidup.
Adalah sesuatu yang nagih, ikutan membayar utang para pendiri bangsa, "mengantarkan rakyat Indonesia menuju gerbang kemerdekaan."
Peduli itu butuh aksi yang memotivasi dan menginspirasi.