Kisah agak muram ini menjadi riang saat dibawakan oleh tokoh-tokoh Disney. Selain Miki, ada Paman Gober sebagai Ebenezer Scrooge (nama Gober dalam bahasa Inggris adalah Scrooge!), Gufi sebagai hantu Marley, Donal sebagai Fred, dst. Setelah mengalami pertemuan dengan tiga hantu Natal, Scrooge mengalami perubahan dari kikir menjadi dermawan. Asyik untuk ditonton bersama anak-anak kecil.
Ia bersikap jujur pada mereka, sekalipun itu berarti menyuruh mereka membeli mainan di toko lain, yang menjualnya dengan harga lebih murah. Ternyata pendekatan ini justru meningkatkan citra Cole di mata pelanggan.Â
Pesan kedua adalah pertarungan antara iman dan skeptisme. Semula isu ini hanya tampil dalam tataran pribadi, lewat sosok ibu tunggal yang membesarkan putrinya secara "lurus": tidak mempercayai mitos apa pun, termasuk Sinterklas. Isu ini lalu diangkat ke tataran massal ketika pada babak ketiga plot menikung tajam dengan membawa Kriss Kringle ke pengadilan.
Kriss, yang mengaku dirinya Sinterklas asli, harus membuktikan bahwa dirinya tidak gila. Sinterklas di sini adalah simbol fenomena supranatural seperti mukjizat dan bahkan – ya, keberadaan Tuhan. Ada hal-hal yang tidak bisa diterangkan dengan logika dingin penalaran manusia, namun hanya bisa dipercayai dengan iman.Â
Isu serupa juga muncul dalam film fiksi ilmiah Contact (Robert Zemeckis, 1997). Ellie Arroway, tokoh utamanya, mesti membuktikan telah melakukan perjalanan antargalaksi, namun tak seserpih pun tanda dapat ditunjukkannya. Contact memilih pendekatan plot terbuka. Sebaliknya, Miracle, meski dalam besutan komedi, melontarkan jawaban yang tegas dan telak.
Menarik, terlebih kalau kita mengingat bahwa peristiwa Natal itu sendiri adalah sebuah Mukjizat Agung.Â
***
Selain film-film Natal seperti di atas, ada pula film-film yang menggunakan Natal sebagai latar, seperti Lethal Weapon (Richard Donner, 1987), Die Hard (John McTiernan, 1988) dan Home Alone (Chris Columbus, 1990) serta sekuelnya.
Dalam beberapa film, penggunaan latar Natal ini cukup signifikan. Stalag 17 (Billy Wilder, 1953) menuturkan upaya para tawanan perang untuk tetap memelihara moril, digarap dengan sentuhan humor yang memikat. Perayaan Natal menyimbolkan sukacita dan pengharapan yang menyembul di tengah kepengapan kamp penjara.Â
Vinyet ketiga Meet Me in St. Louis (Vincente Minnelli, 1944) secara khusus memotret suasana musim dingin, yang berpuncak pada perayaan Natal. Judy Garland menembangkan Have Yourself a Merry Little Christmas di dekat jendela dan 'Tootie' menumpahkan rasa frustasi atas keputusan sang ayah untuk pindah dari St. Louis dengan menghantami patung-patung salju di halaman.