Mohon tunggu...
Alexander Arie
Alexander Arie Mohon Tunggu... Administrasi - Lulusan Apoteker dan Ilmu Administrasi

Penulis OOM ALFA (Bukune, 2013) dan Asyik dan Pelik Jadi Katolik (Buku Mojok, 2021). Dapat dipantau di @ariesadhar dan ariesadhar.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Lebih Jernih Melihat Kisah Vaksin Palsu

29 Juni 2016   15:50 Diperbarui: 22 Desember 2016   18:40 12604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Alamat palsu saja sudah bikin puyeng tukang Gojek, kini muncul sesuatu yang sungguh sangat kejam: vaksin palsu. Menjadi problem tersendiri karena vaksin ini diberikan untuk anak, dan anak bagi kita adalah separuh nyawa. Buktinya kita bisa berantem setengah mati dalam isu working mom dan non-working mom terutama untuk terminologi 'anak pembantu'. Ah, jangankan itu, terminologi 'anak sapi' gara-gara perkara ASI dan susu formula juga cepat panas untuk dikipasi. Intinya soal anak itu begitu berharga buat kita.

Problem kedua adalah ini vaksin, bukan obat biasa yang dijual di apotek maupun toko obat atau bahkan swalayan. Vaksin ini dipastikan hanya bisa dibeli oleh tenaga kesehatan yang bekerja di institusi pelayanan kesehatan dan pemberiannya juga dengan kecakapan tersendiri. Problemnya menjadi demikian masif karena seharusnya para tenaga kesehatan itu terikat sumpahnya masing-masing. Apoteker, misalnya, lantang menyebut bahwa "Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan terutama dalam bidang kesehatan". Pun dengan perawat yang salah satunya menyebut bahwa "Akan menjalankan tugas saya sebaik-baiknya, menurut undang-undang yang berlaku, dengan penuh tanggung jawab dan kesungguhan."

Tapi, ya bagaimana, perkara vaksin palsu ini tetap saja ada. Tersangkanya jelas-jelas berlatar tenaga kesehatan. Tiba-tiba terangkat dan entah kenapa tetiba jadi begitu menarik siapapun buat berkomentar. Padahal kata Badan POM yang sering salah spelling sebagai bepepom itu dalam rilisnya disebutkan bahwa vaksin yang tidak sesuai persyaratan secara sporadis telah ditemukan sejak tahun 2008. Pada saat itu, kasus yang terjadi dalam jumlah kecil dengan modus umum berupa penjualan vaksin yang telah melalui masa kedaluwarsa.

Pada tahun 2013, Badan POM menerima laporan dari perusahaan farmasi Glaxo Smith Kline (GSK) terkait pemalsuan produk oleh 2 sarana yang tidak punya kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian. Tindak lanjut laporan sudah ada dengan sanksi sesuai UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Hukumannya? Denda 1 juta saja. Tahun 2014, Badan POM juga melakukan penghentian sementara kegiatan terhadap PBF resmi yang terlibat menyalurkan produk vaksin ke sarana ilegal atau tidak berwenang yang diduga menjadi sumber masuknya produk palsu. Tahun 2015 juga begitu, dengan peredaran di beberapa RS di Serang. Ehm, mengapa pada tahun-tahun itu pembahasan tentang vaksin palsu tidak seksi untuk dibahas, ya?

Ada dua hal yang harus dilihat lebih jernih dalam kasus ini. Pertama, bagaimana sarana pelayanan kesehatan tadi memperoleh vaksin? Jalurnya resmi atau tidak? Jika jalurnya resmi dari pabrikan ke PBF hingga sarana, sudah barang tentu Badan POM melakukan pengawasan, ya seperti yang ditemukan di tahun-tahun kala berita vaksin palsu tidak menarik untuk dibahas. Kedua, lebih lanjut, siapa sih yang berwenang melakukan pengawasan pada sarana pelayanan kesehatan? Perlu diingat bahwa di Indonesia ini ada Kementerian Kesehatan, ada Badan POM, ada juga Dinas Kesehatan dengan wewenang masing-masing pada pengawasan obat, utamanya vaksin ini.

Betul bahwa vaksin palsu ini berbahaya, karena kategorinya memang produk yang berisiko tinggi (high risk) sehingga perlu pertimbangan dan perhatian yang khusus serta pengawasan yang lebih ketat dibandingkan produk pada umumnya. Kalau mau jujur, boleh tanya sama orang Biofarma, seberapa sering mereka wira-wiri ke Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional (PPOMN) yang ada di Badan POM untuk urusan sampel produk mereka. Artinya, jika jalurnya resmi hampir pasti aman. Masalahnya ya itu tadi, bagaimana dengan sarana pelayanan kesehatan itu sendiri.

Saya yang pernah berkutat di industri farmasi merasakan benar bagaimana Badan POM mengobok-obok hal-hal yang bahkan terlalu detail, sampai bete rasanya, lha wong cuma urusan menyimpan laktosa yang jelas-jelas dalam karung dan di dalam karungpun ada plastiknya saja diurusin. Di hulunya seperti itu ketatnya, sebagai orang pabrik yang bikin obat dengan susah payah lembur dan kebanyakan tanpa dibayar tentu berharap pengawasannya akan seketat itu sampai ujung. Nyatanya? Ya, masih adanya vaksin palsu sampai sarana pelayanan kesehatan tentu menjadi bukti bahwa di hilir masih banyak problematika melanda. Maka pertanyaan yang lebih baik justru di bagian ini, bagaimana pengawasan di hilir dilakukan? Siapa yang punya wewenang di hilir--sarana pelayanan kesehatan--ini? Sejauh mana koordinasi antara Kementerian Kesehatan, Badan POM, Dinas Kesehatan, dan Kepolisian dalam mengelola pengawasan obat di sisi ini? Sekadar cerita tentang bagaimana sulitnya menginvestigasi kasus-kasus obat palsu di lapangan sering saya dengar dari teman yang tugasnya melakukan penyidikan, malah pakai acara diancam pakai alat apapun yang ada di sekitarnya. Ini adalah bukti perihal sulitnya pengawasan di hilir, dan sudah seharusnya bagian ini yang seharusnya lebih kita perhatikan. Sungguh, sebagai orang yang ikutan bikin obat ya walaupun cuma bagian menimbang colloidal anhydrous silica sampai jungkir balik, begitu ada counterfeit itu rasanya sakit, kak. Kalau kata Cinta, yang kamu lakukan itu jahat. Eh, jahad. Pakai 'd' biar dramatis.

Bagi saya, sekarang ini lebih berfaedah jika kita tidak menyalah-nyalahkan orang, sampai-sampai bilang suruh pecat-pecatin semua PNS, sampai bubarkan sebuah institusi, dan lain-lain yang sejenis. Lebih bagus jika kita mengawal benar Kepolisian, Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan, Badan POM, dan juga pabrikan--yang sebenarnya nggak banyak itu--bisa memperoleh data yang jelas tentang vaksin-vaksin yang dipalsukan termasuk distribusinya. Kalau sarana pelayanan kesehatan punya transparansi transaksi, seharusnya gampang. Tinggal mengecek faktur dan bukti pembelian lain untuk memastikan sumber vaksinnya benar atau tidak. Menurut saya, hal itu lebih penting daripada kita misuh-misuhin orang.

Lagipula, selama ini uang palsu beredar toh kita tidak membubarkan Kementerian Keuangan atau Peruri, kan? Ada soal UN bocor, kita nggak serta merta menutup Percetakan Negara, toh? Ada guru yang mencubit anak murid atas nama ketertiban lantas dipenjara, kita kan juga tidak meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dibubarkan, kan? Sekali lagi, adalah lebih baik dan bijak jika di bulan nan fitri ini kita mengawal segala tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah dengan segala alat-alatnya (Kementerian Kesehatan, Badan POM, Kepolisian, dan Dinas Kesehatan). Mereka-mereka yang dihujat itu tetap bekerja walau hatinya sakit minta ampun ketika ada orang yang bukan siapa-siapa meminta mereka dipecat.

Oh, satu lagi, agak keluar topik. Beberapa kali saya membaca tuntutan untuk mencopot Kepala Badan POM. Tadi saya berkunjung ke website Badan POM, kebetulan pada bagian profil, Kepala Badan POM-nya nggak ada. Jadi itu sungguh tuntutan yang epik, minta mencopot yang memang nggak ada. Heuheu.

Sebagai penutup marilah kita memaknai kata-kata dari Dorothy L. Sayers dalam Gaudy Night:

“Some people's blameless lives are to blame for a good deal.”



Tabik.  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun