Mohon tunggu...
Arief Setiawan
Arief Setiawan Mohon Tunggu... pegawai negeri -

pecinta kegilaan http://arieflmj.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Perjumpaan: Shakespeare dan Marquis de Sade

23 Januari 2011   18:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:15 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Rasa lelah akibat pertemuan tak terduga dengan Sartre membuat badan jadi lemas. Aku pun membaringkan tubuh sembari mendengarkan alunan musik karya Mozart yang memanjakan telinga. Mata tak bisa menutup karena bayangan Sartre masih saja hinggap di kepala. Antara percaya dan tidak dengan peristiwa yang ku alami tadi. Sungguh, itu merupakan kejadian tak terduga dan luar biasa karena seperti mustahil saja. Apa daya, semuanya telah terjadi, dan aku pun harus menerima teguran dari Sartre tentang berbagai macam hal.

Terdengar lirih denting piano karya Mozart di malam wingit itu. Hujan belum juga reda. Gemericik air hujan terdengar menderu diantara sayup-sayup kendaraan bermotor yang sedang melintas. “Tok..tok..tok…” pintu kamar kos sepertinya sedang diketuk. Aku berpikir itu seorang teman kos yang sedang memanggil. Tak ada pikiran macam-macam dibenak. Aku pun langsung saja membuka pintu seperti biasanya. Tanpa ada perasaan apa pun yang hinggap dikepalaku saat itu.

“Siapa Anda Tuan?” tanyaku lirih. Aku dibuat kaget lagi dalam semalaman setelah sebelumnya Sartre menghampiri. “Jangan takut anak muda. Aku hanya ingin menyapamu dalam malam. Aku hanya ingin memberitahukan sesuatu paadamu,” ujar salah satu dari mereka. Tamu yang datang itu tak sendirian. Mereka datang berdua dengan mengenakan pakaian yang tampak aneh untuk ukuran sekarang. Seperti pakaian para bangsawan Inggris di film-film. Tampak sekali berat dan sangat tebal pakaiannya meskipun sekarang sudah jarang sekali ada yang seperti itu.

“Silakan masuk, Tuan!” sambutku kepada mereka. Mereka pun masuk ke dalam kamar yang sempit dan penuh dengan pakaian berserakan. Kami pun langsung bercakap-cakap. “Kenalkan, aku Shakespeare.” Kemudian salah satunya menimpali, “aku Marquis de Sade anak muda.” “Apakah benar mereka ini dua orang besar pada zamannya dating padaku mala mini?,” tanyaku dalam hati. Aku hanya bisa terkesiap dalam diam ketika mereka mengenalkan dirinya. Hanya biasa memandang dan tanpa bisa bicara sepatah kata pun.

“Anak muda, baru saja aku bertemu Sartre ketika hendak ke sini. Dia bercerita telah menemuimu. Memberi nasehat tentang eksistensi yang begitu mendalam,” ujar orang yang mengenalkan dirinya sebagai Shakespeare itu. “Aku hanya ingin memberikan sedikit penceerahan bagimu anak muda. Sedikit saja. Aku beda dengan Sartre dalam beberapa hal. Aku pengagum cinta, bahkan sangat memercayainya. Aku bahkan menuliskan tentang keajaibannya dalam wujud drama yang sampai sekarang terus melegenda sampai sekarang,” imbuhnya.

Beberapa karya Shakespeare: Sonnet i, Sonnet ii, Sonnet iii, Sonnet iv, Sonnet v, Sonnet vi, Sonnet vii.

Aku hanya bisa mengangguk saja mendengar penjelasan penyair besar Inggris itu. Aku tak bisa berkata apa pun. Mulut seolah terkunci, hanya telinga saja yang aktif. Semua organ tubuh serasa dipenjara dalam pasung keheningan. Sangat takjub, lebih-lebih ketika ia sedikit bercerita tentang kisah Romeo-Juliet dan Hamlet. Aku pun membujur kaku meski hanya mendengar sepenggal dari cerita panjang nan memesona itu. Membuatku seakan-akan melambai kepada masa lalu sembari berteriak terhadap hari depan.

Setelah itu, de Sade langsung meberikan sedikit ceramah padaku tentang realisme sastra. Dia menjelaskan dengan gambling tentang kaitan antara seks dan kekuasaan. Dengan detil, ia bercerita tentang hubungan seks dan kekuasaan dalam ranah sastra. Ia mengingatkanku tentang kekuasaan. “Kekuasaan tak hanya berpengaruh terkait masalah politik belaka. Cermati lagi. Kekuasaan juga ada dalam seks,” paparnya dengan membara. “Aku adalah korban nyata dari kebengisan kekuasaan yang despotik dan mengekang,” imbuhnya.

Marquis de Sade memang seorang kontroversial pada zamannya. Ia mengajarkan suatu kebebasan sangat ekstrem tanpa mengindahkan etika, hukum, maupun agama. Mengajarkan pengejaran terhadap kepuasan personal sejauh mungkin. Terkait seks, ia terkenal dengan karya yang sangat liar. Sangat bertentangan dengan semangat zaman Victorian yang terkenal menganggap tabu soal seks. Bertolak belakang dengan zaman sebelumnya yang malah merayakan hal tersebut. “Aku dipenjara dan masuk rumah sakit jiwa selama 29 tahun tanpa adanya dakwaan,” tutur de Sade dengan gelisah.

Otak ku tak langsung diam ketika mendengar de Sade bicara. Jauh beda saat Shakespeare memberikan penjelasan panjang lebar. Aku langsung teringat film Quills yang pernah ditonton bersama kala diskusi taman. “Ternyata, aku bisa langsung bertemu dengan tokoh yang ada dalam film itu,” gumamku. Wajahnya sangat eksentrik dan jauh beda dengan orang-orang pada zamannya. Aku pun hanya bisa meng-iya-kan semua ceritanya tanpa bisa membalas sepatah kata pun kepadanya. Sungguh hal ini merupakan pengalaman baru yang tak akan terlupakan.

Malam pun semakin bernjak meninggi. Hawa dingin menusuk tulang semakin melilit saja. Kedua orang besar ini pun berpamitan juga kepadaku untuk bisa segera pergi. Pergi sesuka hati mereka tanpa mengetahui dimana tempat berlabuh nantinya. Sebuah perjalanan untuk meraih tujuan akhir, bukan kemenangan, tapi perjuangan itu sendiri. “Anak muda, kami harus pergi. Kami tak bisa berlama-lama lagi disini. Kami harus menyelesaikan tugas. Terima kasih telah bersedia menemui kami yang sedang mengelana tanpa tujuan jelas ini,” tutur Shakespeare dengan nada rendah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun