Ketika Pupuk Menjadi Barang Langka: Suara Petani dari Sawah Banten
Di tengah pesatnya pembangunan dan kemajuan teknologi di Indonesia, masih banyak sektor penting yang luput dari perhatian serius — salah satunya pertanian. Padahal, dari tangan para petani inilah nasi di piring kita berasal. Namun, di balik butiran padi yang kita nikmati, tersimpan kisah perjuangan panjang dan penuh tantangan.
Salah satu kisah itu datang dari Rawat (48), seorang petani asal Banten, yang sudah mengabdikan hidupnya selama 15 tahun di sawah. Sehari-hari ia mengolah tanah seluas tiga setengah hektar, hanya dengan bantuan alat sederhana dan tenaga keluarga.
“Saya kerja cuma tani, karena yang lain nggak bisa. Sekolah juga nggak tinggi, jadi ya di sawah aja,” ujarnya saat ditemui di lahan miliknya.
Namun perjalanan menjadi petani tidaklah mudah. Rawat mengaku tantangan terbesar saat ini adalah kelangkaan pupuk bersubsidi. Menurutnya, sistem pendistribusian pupuk terlalu rumit dan terbatas, sehingga petani kecil sering kali tidak mendapat jatah sesuai kebutuhan.
“Sekarang pupuk susah masuk, harus pakai KTP. Saya cuma dikasih tiga kintal (enam karung), padahal sawah saya tiga hektare setengah. Harusnya tujuh kintal baru cukup,” keluhnya. “Ibarat orang, kalau makannya kurang, ya lemas. Padi juga begitu.”
Akibat keterbatasan pupuk itu, hasil panen pun menurun. Jika dulu ia bisa mendapatkan penghasilan sekitar Rp18 juta dalam satu musim panen, kini hanya sekitar Rp10 juta. Padahal, pupuk non-subsidi yang bebas dibeli harganya sangat tinggi — mencapai Rp500 ribu per karung.
Meski demikian, Rawat tetap bertahan. Ia mengaku sudah terbiasa hidup dengan kesederhanaan dan mengandalkan hasil panen untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Kadang, ia harus meminjam uang kepada teman untuk modal tanam, lalu mengembalikannya setelah panen tiba.
“Namanya juga panen empat bulan sekali, kadang harus pinjam dulu buat modal, nanti dibalikin setelah panen,” tuturnya pelan.
Lebih miris lagi, Rawat mengaku belum pernah mendapat bantuan pemerintah, meski sudah puluhan tahun tinggal dan bertani di daerah itu. Ia merasa dianggap sebagai “orang luar”, meski tanah yang digarapnya sudah lama ia urus dengan penuh tanggung jawab.
“Katanya ada bantuan, tapi saya nggak pernah dapat. Saya dianggap bukan warga sini, padahal udah 25 tahun tinggal di sini,” katanya.