Saya menunggu-nunggu seperti apa di masa depan saya akan menyebut Umar: peneliti, intelektual publik, pegiat HAM, atau pejabat negara—yang terakhir itu saya pikir ia tak cocok, tapi siapa tahu. Umar juga punya potensi buncit, sehingga sempat terlintas di pikiran saya bahwa ia akan sukses kalau-kalau mencoba maju menjadi anggota DPR.
Tentu, saya tak ingin memaksakan membentuk bayangan dirinya di masa depan. Hanya saja barangkali saya akan kecewa kalau tahu ia lebih suka duduk ramai-ramai di kedai kopi atau resto elit di daerah Tebet ketimbang di sudut-sudut remeh Jakarta atau tenda-tenda lesehan sederhana di Yogyakarta. Sebab di sudut-sudut remeh dan tenda-tenda lesehan itu ia bisa berbicara dengan pantas mengenai “rakyat”—sesuatu yang sampai kapan pun harus ia perjuangkan.
Dengan sikap itu ia hidup di dalam “Indonesia”, menjadi “Indonesia”—hidup, mengalami, bukan berdiri melihat dari atas.