Mohon tunggu...
Muhammad Arief Ardiansyah
Muhammad Arief Ardiansyah Mohon Tunggu... Lainnya - Business Analyst

Pencerita data dan penggiat komoditi.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Cokelat dan Seksualitas pada Hari Valentine

13 Februari 2020   22:48 Diperbarui: 14 Februari 2020   08:51 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Sekotak Cokelat. Sumber: Unsplash/Egor Lyfar

Setiap masuk bulan Februari, cokelat selalu menjadi komoditi yang paling diminati. Biang keladinya, tentu saja perayaan Hari Valentine yang jatuh pada tanggal 14 Februari.

Cokelat dipercaya sebagai simbol terbaik untuk merayakan kasih sayang kepada orang-orang terkasih.

Tetapi tak sedikit pula yang kerap mengasosiasikan cokelat sebagai kudapan penambah gairah seksual. Cokelat dituding mampu menghadirkan keintiman dan kehangatan lebih dalam hubungan badan.

Lantas apakah cokelat benar-benar memiliki pengaruh terhadap seksualitas? Jika iya, lalu apa hubungannya dengan Valentine? Adakah kaitan di antara ketiganya hanya sebatas kebetulan?

Pada dasarnya, cokelat adalah produk olahan dari biji kakao. Karenanya, efek fisiologis yang dapat ditimbulkan dari cokelat akan sangat bergantung pada efek fisiologis yang dimiliki oleh biji kakao dan senyawa kandungannya.

Kandungan utama dari biji kakao adalah senyawa alkaloid bernama theobromine.

Senyawa ini terbukti mampu menurunkan tekanan darah, memperkuat enamel gigi, menurunkan kolesterol, serta mengurangi insomnia.

Resultannya, theobromine kerap dimanfaatkan sebagai stimulan untuk meningkatkan fokus, memperbaiki mood, dan menajamkan konsentrasi.

Kakao juga dikenal sebagai salah satu sumber polifenol terkaya yang ada di muka bumi. Kadarnya dapat mencapai 6-8% dari berat kering biji.

Nilai tersebut tentu terbilang besar. Pasalnya kebutuhan polifenol tubuh tidak terlalu banyak, tetapi memiliki manfaat yang signifikan.

Polifenol terbukti mampu menurunkan risiko penyakit jantung, membantu penyembuhan diabetes, melancarkan sistem pencernaan, dan menurunkan berat badan.

Hal ini dikarenakan fungsi polifenol sebagai agen pereduksi terhadap kondisi stress oksidatif pada sel tubuh atau lebih dikenal dengan sebutan antioksidan.

Kombinasi antara senyawa theobromine dan polifenol berkadar tinggi inilah yang digadang-gadang mampu meningkatkan seksualitas.

Peningkatan mood yang didapat dari theobromine, dipadukan dengan kemampuan reduksi stres dari polifenol, dipercaya mampu menumbuhkan gairah dan keintiman.

Salah satu penelitian yang banyak dirujuk untuk menguatkan argumen ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Salonia dkk pada tahun 2006.

Penelitian yang dipublikasikan pada The Journal of Sexual Medicine itu menunjukkan bahwa konsumsi cokelat mampu meningkatkan indeks fungsi seksual pada wanita.

Sayangnya ketika data tersebut dinormalkan dengan data umur responden, tidak terlihat perbedaan signifikan antara kelompok wanita pengonsumsi cokelat dengan yang tidak.

Sang peneliti pun memberikan kesimpulan dengan kata "alluring", yang berarti bahwa masih terdapat misteri di balik pembuktian manfaatnya.

Penelitian tersebut kemudian disambung oleh Rany Shamloul yang menerbitkan jurnal review pada tahun 2010 tentang sumber makanan alami yang dapat meningkatkan gairah seksual (natural aphrodisiacs).

Menurut Rany, pernyataan bahwa cokelat dapat meningkatkan gairah belum dapat dijadikan kesimpulan karena literatur terkait hal tersebut masih sangat minim dan lemah pembuktian.

Dengan kata lain, belum dapat dikatakan bahwa cokelat dapat berdampak secara langsung terhadap seksualitas. Yang boleh dikatakan adalah bahwa cokelat dapat berdampak secara tidak langsung terhadap seksualitas.

Dampak tidak langsung ini tidak lain dikarenakan senyawa theobromine dan polifenol yang telah kita bahas pada paragraf di atas.

Kombinasi keduanya menciptakan kualitas kesehatan yang lebih baik sekaligus meningkatkan mood, dua faktor penting yang membuat seseorang nyaman melakukan hubungan seksual.

Akan tetapi kedua senyawa tersebut lagi-lagi terkandung di dalam biji kokoa. Adapun cokelat yang kini banyak beredar di pasaran, tentu sudah mengandung banyak bahan tambahan seperti susu, gula, lemak atau kacang.

Akibatnya, tentu kadar senyawa bioaktif pada kokoa akan semakin mengecil. Efek fisiologisnya pun bisa tertutupi oleh efek dari senyawa lain yang lebih dominan seperti gula dan lemak.

Jadi jangan heran kalau setelah mengonsumsi cokelat, manfaat dari theobromine dan polifenol yang diharapkan tak kunjung didapatkan.

Alih-alih ingin berat badan turun dengan konsumsi cokelat, justru bisa makin bertambah akibat kadar lemak yang jauh lebih dominan masuk ke dalam tubuh.

Jangan pula cokelat dijadikan kambing hitam atas meningkatnya seksualitas di hari Valentine.

Peningkatan itu justru diakibatkan suasana dari hari Valentine itu sendiri. Mulai dari postingan tentang cinta yang semakin marak, lagu-lagu yang memberikan dorongan seksual, atau sentuhan tak biasa yang dihadirkan oleh pasangan.

Selamat mengonsumsi cokelat!

Referensi:

Salonia A, Fabbri F, Zanni G, Scavini M, Fantini GV, Briganti A, Naspro R, Parazzini F, Gori E, Rigatti P, & Montorsi F. Chocolate and Women's Sexual Health: An Intriguing Correlation. J Sex Med 2006;3;476-482.

Rany S. Natural Aphrodisiacs. J Sex Med 2010;7;39-49.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun