Mohon tunggu...
Muhammad Arief Ardiansyah
Muhammad Arief Ardiansyah Mohon Tunggu... Lainnya - Business Analyst

Pencerita data dan penggiat komoditi.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Harga Cabai Meninggi, Mari Berempati kepada Petani

7 Februari 2020   11:33 Diperbarui: 8 Februari 2020   08:06 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petani Cabai di Kulonprogo. Sumber: ANTARANEWS

Memasuki bulan Februari, harga cabai di pasaran masih meninggi. Harga cabai rawit merah di Pasar Baru Bekasi misalnya, masih menyentuh angka Rp75.000,- per kilogram. Komoditas yang sama di Jakarta bahkan dapat dihargai hingga Rp80.000,- per kilogramnya.

Tak pelak, tatapan sinis pun tertuju pada pihak-pihak yang diduga berada di balik tingginya harga cabai ini. Mulai dari Menteri Pertanian, petani, distributor, para penjual di pasar tradisional, penyuluh pertanian, peneliti cabai, sampai para food vlogger yang dianggap terlalu getol mempromosikan makanan pedas!

Padahal, setiap awal tahun harga cabai selalu naik. Kalau tidak percaya, cek saja sendiri di Google dengan kata kunci "harga cabai naik 20xx" dengan xx adalah tahun kenaikan yang ingin Anda ketahui.

Masalahnya, dari sekian banyak pihak di balik rantai produksi cabai, petani selalu menjadi pihak yang mengalami perundungan paling banyak. Petani dianggap lamban beradaptasi, selalu memakai cara budidaya lama yang itu-itu saja. 

Produktivitasnya rendah, tanamannya mudah terserang penyakit, dan kualitasnya sulit seragam.

Petani dianggap tidak mampu mengikuti perkembangan ilmu pertanian modern yang menawarkan beragam solusi, seperti integrated farming atau precision farming. 

Argumen ini kerap didukung dengan alasan minimnya latar belakang pendidikan yang dimiliki oleh para petani. Padahal, justru mereka yang pendidikannya lebih tinggi-lah yang kian enggan menjadi petani.

Karenanya, lewat tulisan ini, saya hendak mengajak pembaca untuk berempati kepada para petani, khususnya petani cabai. 

Saya ingin mengajak pembaca memosisikan diri sebagai petani, memahami kesulitan-kesulitan mereka, dan berhenti memberikan tudingan miring lalu mulai fokus mencari solusi.

Secara umum, latar belakang pendidikan petani di Indonesia memang rendah. Data BPS pada tahun 2018 menunjukkan bahwa 39% petani merupakan lulusan SD, 16% lulusan SMP, 9% lulusan SMA, dan hanya 0,6% yang merupakan lulusan Perguruan Tinggi baik Sarjana atau Diploma. Selebihnya, 27% petani belum lulus SD dan 10% petani belum pernah sekolah sama sekali.

Meskipun begitu, kuatnya pengalaman petani Indonesia sama sekali tidak bisa diragukan. Buktinya, dalam berpuluh tahun mereka selalu berhasil menghadirkan ragam kebutuhan pangan dalam berbagai kondisi.

Petani Indonesia sudah paham betul bagaimana karakteristik tanah, air dan udara di ibu pertiwi. Mereka juga mengerti bagaimana kualitas benih, performanya dalam berbagai kondisi tanam, juga cara menyimpannya agar tak mudah rusak sebelum dipakai.

Mereka pun paham penyakit-penyakit yang kerap menggagalkan panen. Puluhan cara mungkin sudah pernah mereka coba demi mengusir hama. Sampai terkadang, cara tradisional ala mereka justru lebih ampuh ketimbang pestisida yang dihasilkan oleh industri kimia.

Permasalahannya, sentra produksi cabai di Indonesia masih belum merata. Sentra-sentra utama masih terdapat di pulau Jawa. Sehingga apabila sentra tersebut terganggu sedikit, semisal oleh cuaca atau penyakit, maka terganggulah pasokan cabai nasional.

Tentu saja sentra produksi cabai di Sulawesi dan Kalimantan sudah berkembang cukup lama. Dalam kondisi minim pasokan seperti sekarang pun cabai di Jawa berasal dari luar pulau sana. Akan tetapi, ongkos distribusi cabai yang melewati lautan itu hampir tak mungkin diturunkan.

Opsi lainnya adalah dengan meningkatkan luas lahan produksi cabai di pulau Jawa. Namun langkah ini berpotensi saling sikut dengan kebutuhan lahan bagi kawasan industri dan perumahan.

Lantas bagaimana dengan penerapan teori seperti integrated farming atau precision farming yang digaungkan oleh para akademisi? Teori yang memungkinkan input energi sekecil-kecilnya untuk menghasilkan produk dalam jumlah banyak dan bernilai jual tinggi.

Teori tersebut tentu sudah teruji secara ilmiah dan terbukti mampu mendulang keuntungan di negara-negara lain. Hanya saja, merealisasikannya tidak semudah dan secepat yang dibayangkan.

Diperlukan investasi yang tidak sedikit dengan perencanaan yang benar-benar matang untuk dapat melakukan ekspansi tersebut. Mulai dari investasi alat, investasi diklat SDM, hingga investasi untuk menjaga ketahanan dan keberlanjutan produksi di masa peralihan sistem.

Berharap petani mengalokasikan keuntungannya untuk perlahan memerhatikan aspek ini pun terlihat hampir mustahil. Pasalnya pemenuhan aspek kesejahteraan mereka jauh lebih prioritas di tengah himpitan kebutuhan pada zaman yang serba mahal.

Belum lagi potensi tidak tercapainya target panen dan harga beli hasil panen yang begitu murah. Membuat otak petani dipaksa berpikir cara bertahan hidup dari hari ke hari meskipun sudah memiliki lahan dalam satuan hektar.

Maka dari itu, mari berhenti merundung petani jika harga cabai dan hasil tani lainnya sedang meninggi. Karena mereka pun juga mengalami kesulitan tersendiri. Kesulitan untuk hidup pas-pasan sambil terus bekerja keras demi memenuhi kebutuhan pangan bagi rakyat di negeri ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun