Mohon tunggu...
@Arie
@Arie Mohon Tunggu... Freelancer - Orang biasa yang mau berfikir luar biasa. that is

Orang biasa, yang mau berfikir luar biasa. Hobi menulis sejak remaja, sayangnya baru ketemu Kompasiana. Humanis, Humoris, Optimis. Menjalani hidup apa ada nya.@ Selalu Bersyukur . Mencintai NKRI. " Salam Satu Negeri,!!" MERDEKA,!!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Waktu Ketika Cinta Menyapa

27 November 2020   18:30 Diperbarui: 28 November 2020   09:25 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image : pxhere.com. Ilustrasi

Jakarta sangat panas hari ini,........
Kawasan Tanah Abang, seperti biasa, semrawut dan macet.  Klakson  bersahut-sahutan. Suasana bising dan hingar - bingar pedagang dan pembeli, sesekali ditingkahi jeritan kondektur metro mini mengajak penumpang naik ke kendaraan nya, :
“Ayo, melayu, melayu, melayuuuu, !’ jeritan nya dengan suara lantang, mengajak penumpang untuk naik ke tujuan terminal kampung melayu,: metro mini, P.502, Tanah  Abang- Kampung Melayu.


Aku sedang menyetir sepeda motor di dekat bangunan  induk Pasar Tanah Abang, mengarah ke Thamrin City, yang jarak nya tak sampai satu kilometer, dari posisi Ku sekarang. Tapi sudah setengah jam belum sampai, terhalang macet kendaraan, di tambah pedagang yang menggelar dagangan sampai ke tengah jalan. Menghambat lalu lintas,  menyempitkan jalan utama yang hanya selebar sekitar enam meter, belum lagi gerobak dan mobil box yang bongkar muat, di tambah pick up pengantar barang, berseliweran.  Semrawut !


Tiba –tiba telefon  genggam ku  berdering  dan bergetar di saku kemeja. Ku lihat nomor asing tidak di kenal. Alhamdulillah, mudah-mudahan pembeli cari barang, gumam Ku,:
”“Halo, dari siapa dimana?”, tanya Ku. Dengan kalimat pembuka yang khas dan cukup dikenal kolega ku itu.
 Di seberang sana terdengar suara seorang wanita,:
“Haloo,  Salam alaikom, ape kabar? Maseh ingat ga same kite  nih?,” si wanita menyapa dengan logat Pontianak yang kental.  Aku coba mengenali  suara nya, tapi tetap asing bagi ku.  Siapa?
“Ya bu, apa yang kita bisa bantu,?” tanya ku.
“OOH ye la, tak kenal dah ngan kite rupe nye, tak apelah, makaseh ye,!”  Klik, langsung di tutup.


Karena di kejar janji, aku tak begitu perhatian siapa penelfon tadi. Ku pacu sepeda motor menemui buyer Ku yang tadi berjanji ketemu di Thamrin City. Mereka orang  Saudi, cari gaharu  untuk buat oleh-oleh. Setelah bertemu, Ku tunjukan barang dagangan Ku, dan mereka membeli nya, lumayan, lima kilo gaharu kelas “AB”, sudah berpindah tangan. Tiga  puluh juta mengisi kantong Ku hari itu.


 Setelah makan di food city di Thamrin City,  Aku pulang ke kamar kost Ku, di bilangan Tanah Abang dekat situ. Kurebahkan penat seharian sejak pagi tadi,  hingga sekarang pukul empat sore.


Tiba –tiba aku ingat  telfon tadi. Orang Pontianak,  yang sempat telfon sejenak. Aku coba mengingat kalimat-demi kalimat nya,  dan,..!” Ya Allah,!”: Aku ingat kata ,: ” Makaseh Ye,!” Kata itulah yang dulu terakhir Ku dengar di perkemahan terakhir kami, di atas tongkang kayu, ketika Ku selimutkan jaket Ku kepada nya. Tapi apakah mungkin itu dia?  Dari  mana dia dapat nomor Ku? Kami  tak pernah kontak dan ketemu sudah hampir tiga puluh tahun? 

Ku cari  rekod nomor panggilan masuk tadi, iseng ku coba telfon kembali.
“Halo, Salam alaikum, maaf ini siapa  ya?,: tanya ku dengan bahasa Indonesia sehari-hari nya.
“Ini kawan Ente sekolah dulu, suke pakai rambut pendek,”:  sahut nya.
Aku berfikir sejenak, dan coba mengingat-ngingat. Siapa ya? Tapi tetap saja bayangan di kepala Ku gelap.
“Maaf, saya lupa, ini siapa?,” sahut Ku lagi.
“Saye kawan nye Ida, teman sebangku nye dolok, waktu SMA!”  Jawab nya dengan mantap.


DUG, dada ku seperti di pukul godam raksasa. Nafas ku tercekat.  Tenggorokan ku tiba –tiba terasa tersumbat.  Aku bangun telentang dari  pembaringan. Kuatur nafas yang agak tersengal-sengal, agar tenang dan kembali asal.
“Ini  awak  ke, ?” tanya ku dalam logat melayu, yang tak tahu langsung berubah seketika itu juga.
 “Iye ,  saye, Ape kabar awak tu, sehat jak ke, anak berape, dimane Sekarang,?”  tanya nya beruntun.
 Aku hanya terdiam, tak mampu bersuara. Rasa nya seperti mimpi, antara sadar dan tidak. Setelah hampir tiga puluh tahun terpisah, baru kali ini aku mendengar suara nya lagi?


Sejenak aku termenung, kata orang, cinta memang banyak lika liku nya. Tapi tak banyak orang yang mendapatkan anugrah, menemukan jawaban atas pelik dan rumit nya lika liku cinta. Benarkah?  Dia berharap aku mampu mengenali siapa dia lewat suara nya, bagaimana mungkin itu bisa kulakukan?  Lagi pula rasa nya sangat mustahil dia mau menelpon Ku dan membuka kontak dengan Ku, bukankah dia sekarang sudah menikah, sudah bersuami? Apa maksud nya? Bukankah dulu, hanya Aku saja yang mencintai nya setengah mati, sementara dia tak pernah membalas nya, meski hanya dengan setengah hati?  Tapi mengapa Dia tiba -tiba menelpon ku? Setelah sekian lama?


Bukankah Dulu, Ia mengangkat kepala nya dengan pongah, ketika berpapasan dengan Ku. Bukankah dulu, Ia tak cukup sebelah mata memandang Ku, sampai Aku merasakan bahwa Aku memang tak layak untuk nya. Aku memang rendah dalam segala hal di mata nya. Aku memang tak pantas mencintai nya. Aku lupa bercermin, dan melihat siapa diri Ku di kaca. Aku tak lebih bak seekor pungguk yang merindukan bulan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun