Mohon tunggu...
Ariani Sekar
Ariani Sekar Mohon Tunggu... -

non est vivere sed valere vita est.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Indonesia Krisis Persatuan?

17 Januari 2018   00:09 Diperbarui: 17 Januari 2018   01:17 2454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sudah bukan hal yang mengagetkan dan asing lagi kalau mendengar kata-kata seperti judul di atas. Sepertinya Indonesia bukan menjadi tempat yang nyaman lagi untuk hidup bersama dalam perbedaan. Banyak ancaman yang membuat kita sebagai warga khususnya kaum minoritas menjadi 'was-was' dalam berpendapat, berperilaku apalagi membawa perubahan, bisa jadi bukannya mendapat dukungan malah kecaman yang datang. Maunya sih berkarya, namun takut melanda dan menciutkan semangat untuk membawa perubahan karena segala sesuatu serasa akan dipersulit dan tidak diterima.

Entah latar belakang apa yang mendasari perilaku-perilaku anti-perbedaan tersebut, yang jelas hal-hal mementingkan kepentingan golongannya hanya membuat lunturnya kesatuan dan keutuhan NKRI. Faktor krisis persatuan yang sedang naik daun dewasa ini  adalah faktor SARA. Sifatnya sangat pribadi, karena itu berkaitan dengan HAM. Menurut saya masalah SARA adalah suatu topik yang sangat sensitif untuk dibahas apalagi untuk diperdebatkan, khususnya masalah kepercayaan, Tuhan kok untuk bahan perdebatan?

Pada dasarnya setiap warga negara Indonesia adalah pribadi-pribadi yang berbudaya dan beragam (multikultural). Perbedaan yang banyak di Indonesia entah hasil globalisasi atau akulturasi membuat negara ini semakin kaya akan budaya. Tidak ada manusia yang bisa memilih ia dilahirkan di suku apa, agama apa atau ras apa, karena pada hakikatnya itu semua adalah identitas diri seseorang sebagai pribadi yang unik. Jelas tidak bisa seseorang menyalahkan seorang yang lain karena beda paham kepercayaan kepada Tuhan atau karena suku yang dianutnya suku asing (bukan asli Indonesia) sehingga dianggap sebagai penjajah di bangsa ini. Aneh bukan?

Saya rindu toleransi yang menjadi ciri khas Indonesia bisa terwujud secara sempurna kembali. Seperti saling mendukung, menjaga, melindungi satu sama lain walaupun berbeda. Coba kita flashback mengenai perumusan Pancasila, dimana para pahlawan proklamasi masih memikirkan suadara-saudaranya di Indonesia Timur yang pastinya akan sedikit keberatan jika sila pertamanya hanya mengarah pada umat Muslim saja, padahal Indonesia adalah milik semua orang yang tinggal di dalamnya, tidak hanya yang beragama mayoritas saja (90% Muslim) . Hal ini menunjukkan bahwa toleransi umat beragama masih tinggi dan para pemimpin negara masih menjadi teladan yang baik bagi masyarakat kala itu.

Peristiwa Sumpah Pemuda juga mengingatkan kita bahwa sebenarnya rasa persatuan sudah dipupuk sejak zaman melawan penjajahan, para pemuda yang awalnya terpecah-pecah dalam berbagai organisasi kedaerahan kemudian bergabung menjadi satu, menghilangkan segala identitas asli mereka menjadi 1 identitas yaitu sebagai pemuda Indonesia yang siap bersatu untuk mengikrarkan janji dan membangkitkan semangat menolak segala bentuk penindasan dan kekejian penjajah.

Ketika kita bersatu, kita adalah Indonesia. Bukan lagi sebagai orang Jawa atau orang Cina, orang Muslim atau orang Hindu, namun sebagai 1 Indonesia yang saling membangun bangsa demi lebih majunya kesejahteraan hidup bermasyarakat.

Tidak usah lah membandingkan perbedaan satu dengan lainnya juga tidak perlu saling menjatuhkan, toh semuanya punya karakteristik dan keunikannya masing-masing. Kalau memang terpaksa tidak suka dan tidak sependapat, coba kendalikan diri dengan cukup disimpan dalam diri supaya tidak menyakiti orang yang mendengarnya.

Semoga slogan Bhinneka Tunggal Ika bukan menjadi omong kosong belaka, namun benar-benar direfleksikan, dihayati dan diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa bernegara di tanah Indonesia yang penuh keberagaman ini. Buktikan pada dunia bahwa Indoneisa adalah bangsa yang menghargai pluralisme. Semangat mencintai perbedaan! AMDG.

Ariani Sekar dari Kolese Loyola

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun