Berdasarkan data dari Maternal Perinatal Death Notification (MPDN), sistem pencatatan kematian ibu oleh Kementerian Kesehatan, jumlah kematian ibu pada tahun 2022 mencapai 4.005, dan di tahun 2023 alih-alih menurun, ia justru meningkat menjadi 4.129.
Sementara itu, untuk kematian bayi pada 2022 sebanyak 20.882 dan pada tahun 2023 tercatat 29.945. Kemudian menjadi pertanyaan, mengapa angka kematian ibu masih tinggi di tahun 2023 dan justru meningkat dibanding tahun sebelumnya?Â
Berbicara mengenai apakah angka kematian ibu yang masih tinggi mendapat penanganan atau tidak, tentu saja selama ini pemerintah tak tinggal diam, mengingat masalah kematian ibu bukanlah masalah yang baru saja dimulai di tahun di tahun 2022.
Masalah ini telah ada sejak dahulu dengan tren yang sebenarnya kian menurun, namun masih tinggi jika dibandingkan negara-negara tetangga lain di ASEAN. Indonesia berada di urutan ketiga dengan angka 173 per 1000 kelahiran hidup, setelah Kamboja, yang memegang angka kematian ibu tertinggi di wilayah ASEAN, yaitu dengan angka sekitar 218 dan Myanmar yakni sekitar 179.
Berbagai usaha telah dilakukan oleh pemerintah, sebagai contoh antara lain, pemerintah yang telah berupaya meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap fasilitas dan pelayanan kesehatan, pemberian sosialisasi terkait pendidikan kesehatan reproduksi, perencanaan kehamilan, persalinan yang aman, hingga pasca persalinan, meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan ibu seperti pelatihan bagi petugas kesehatan, peningkatan akses menuju bahan dan peralatan medis yang diperlukan, serta penentuan prosedur dan protokol pelayanan kesehatan ibu dan anak.Â
Sebagai dokter yang pernah bekerja di puskesmas dan aktif mengikuti forum-forum terkait pelayanan kesehatan primer dan kaitannya dengan kesehatan ibu dan anak, saya memahami bahwa sesungguhnya telah terdapat banyak kebijakan yang diluncurkan oleh pemerintah di tingkat pusat, sebagaimana yang telah saya sebutkan di atas.Â
Dan kiranya, saya memahami bahwa Indonesia pun tak kekurangan sosok-sosok hebat yang ahli dalam penurunan angka kematian ibu di Indonesia, yang berarti segala sesuatu permasalahan terkait angka kematian ibu seharusnya dapat ditangani secara responsif dan kritis oleh ahli-ahli ini.Â
Bantuan dari badan-badan internasional seperti WHO, UNICEF, dan seterusnya pun selalu ada setiap tahunnya untuk menekan angka kematian ibu di Indonesia semaksimal mungkin, jika pun meragukan kemampuan Indonesia untuk menangani angka kematian ibu ini.
Lalu akhirnya, kita bertanya kembali, mengulangi pertanyaan pada paragraf pertama, mengapa angka kematian ibu masih tinggi di tahun 2023? Dan justru meningkat dibanding tahun sebelumnya? Apa yang masih kurang?
Bisa jadi terdapat hal-hal di luar pelayanan kesehatan yang perlu kita perhatikan. Tak hanya terkait akses menuju fasilitas pelayanan kesehatan, termasuk di dalamnya ketersediaan bahan, alat, dan obat-obatan yang diperlukan untuk menunjang kesehatan ibu.
Lalu juga tak hanya terkait sosialisasi tentang pentingnya menjaga kesehatan reproduksi, pentingnya merencanakan kehamilan, pentingnya memeriksakan kehamilan, atau tak hanya terkait peningkatan kuantitas maupun kualitas sumber daya manusia (SDM) kesehatan, namun bisa jadi terdapat hal-hal kecil yang sebenarnya dapat berdampak besar sebagai tuas dalam menggerakkan hal-hal tersebut untuk dapat menjadi solusi atas penurunan angka kematian ibu.
Saya memikirkan tentang bagaimana proses pengambilan keputusan seorang perempuan di dalam keluarga. Apakah saat ia merencanakan kehamilan, adalah atas dasar keputusan bersama, ataukah hanya keputusan dari pihak suami? Apakah saat ia sedang hamil, lalu ia memutuskan untuk memeriksakan kehamilan, keputusan tersebut lalu didukung oleh suami? Dan seterusnya.
Bisa jadi pemerintah pusat hingga daerah telah mengupayakan berbagai program untuk menunjang optimalnya proses pelayanan kesehatan kepada ibu dan anak dalam rangka menurunkan angka kematian ibu yang telah menjadi agenda bersama begitu lama, namun faktor-faktor yang berputar di dalam unit terkecil yang sesungguhnya memiliki kekuatan besar namun sering dilupakan yaitu faktor di dalam keluarga, seperti bagaimana pengambilan keputusan dalam pencarian pelayanan kesehatan ternyata terabaikan dan membuat seorang perempuan tak memiliki kuasa atas hak reproduksinya sendiri, membuat seorang ibu hamil tak mampu mengakses layanan kesehatan karena relasi kuasa yang masih bersifat patriarkis, dan seterusnya.
Dengan demikian, penurunan angka kematian ibu tidak boleh hanya ditangani dari satu disiplin saja misalnya disiplin kesehatan, namun berbagai aspek seperti aspek sosial ekonomi, budaya, agama, dan lain sebagainya harus menjadi perhatian bersama tanpa terkecuali.
Mari memperhitungkan faktor sosial dan ekonomi yang memengaruhi aksesibilitas dan kualitas pelayanan kesehatan ibu, memahami norma-norma budaya yang dapat memengaruhi keputusan dan perilaku terkait kesehatan reproduksi, mengedepankan pendekatan yang berpusat pada kesetaraan gender dalam upaya kesehatan reproduksi, termasuk memberdayakan perempuan untuk mengambil keputusan tentang kesehatan mereka sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H