Mohon tunggu...
Ariana Maharani
Ariana Maharani Mohon Tunggu... Dokter - MD

Pediatric resident and postgraduate student of clinical medical science at Universitas Gadjah Mada, Instagram: @arianamaharani

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Mikroskop Deteksi Tuberkulosis yang Hanya Menjadi Pajangan

18 November 2023   12:47 Diperbarui: 19 November 2023   06:45 690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hasil rontgen salah seorang warga dalam kegiatan Active Case Finding TBC di Kantor Kecamatan Larangan, Kota Tangerang, Banten, Kamis (5/1/2023). Foto: KOMPAS/PRIYOMBODO

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Walau demikian ia menular, ia merupakan penyakit yang dapat disembuhkan. Ia memiliki alur diagnosis yang telah ditetapkan secara jelas hingga telah memiliki obat yang terbukti memberikan kesembuhan. Dengan demikian, tiada cara lain selain menyediakan akses untuk memperoleh diagnosis dan tatalaksana terhadap TB yang merata ke seluruh individu tanpa kecuali untuk mengurangi angka tingkat dan beban penyakit TB di Indonesia.

Faktanya, di tahun 2015, menurut laporan Global Tuberculosis Report oleh World Health Organization, dari 10,4 juta kasus TB yang ada pada tahun 2015, hanya 6 juta di antaranya yang dilaporkan. Hal ini lalu menunjukkan kepada kita bahwa terdapat sejumlah besar pasien TB yang menghilang atau tidak teridentifikasi. 

Tentu saja yang kemudian menjadi pertanyaan, kemanakah mereka yang tak teridentifikasi tersebut? Apakah terdapat kendala pada pasien itu sendiri dalam kemauannya dan keputusannya untuk memeriksakan tanda yang muncul serta gejala yang ia rasakan ke pelayanan kesehatan? Ataukah mungkin pasien-pasien tersebut telah sigap memeriksakan kesehatannya namun sistem kesehatan yang ada menghambatnya, seperti hambatan oleh kapasitas diagnostik dan tatalaksana masing-masing pelayanan kesehatan? Apakah seluruh masyarakat memperoleh akses menuju diagnosis dan tatalaksana terhadap TB yang merata?

Menurut penelitian oleh Hanson et al pada tahun 2017, disebutkan bahwa 76% dari pasien yang ia teliti di lima negara, termasuk Indonesia, melakukan kunjungan pada pelayanan kesehatan yang tidak memiliki kapasitas atau kemampuan untuk mendiagnosis TB. Hal ini sejalan dengan pengalaman yang terjadi pada saat saya bekerja sebagai dokter di salah satu Puskesmas di Provinsi Kalimantan Selatan. 

Beberapa kali saya menetapkan beberapa pasien saya sebagai pasien presumtif TB atau pasien-pasien yang secara klinis saya curigai sebagai TB dan untuk melakukan diagnosis pasti memerlukan pemeriksaan penunjang, setidaknya dengan pemeriksaan dahak yang disebut dengan Bakteri Tahan Asam atau BTA, tak berhasil saya identifikasi di saat itu juga, dikarenakan Puskesmas dimana saya ditempatkan bekerja saat itu hanya memiliki mikroskop yang digunakan sebagai pajangan alias tidak berfungsi. 

Akhirnya, dengan berat hati saya berikan penjelasan yang panjang kepada pasien untuk berangkat ke Puskesmas yang terletak di kecamatan sebelah yang memiliki fasilitas BTA dan mikroskop yang berfungsi tentu saja. Padahal, tak menutup kemungkinan, pasien-pasien yang telah saya curigai sebagai TB tersebut kemudian tak mengindahkan apa yang saya sarankan kepadanya atas berbagai pertimbangan yang ada di kepalanya. Mereka lah kemudian yang disebut pasien-pasien tuberkulosis yang menghilang.

Selain tidak terdapatnya kapasitas untuk melakukan pemeriksaan penunjang dalam mendiagnosis TB di pelayanan kesehatan publik seperti pada beberapa Puskesmas yang sebenarnya juga menunjukan betapa senjangnya ketersediaan akses menuju kesehatan antara satu individu dengan individu yang lain, masalah terkait akses menuju diagnosis TB juga kiranya dialami oleh pasien yang memilih berobat di klinik swasta. Pada praktik di lapangan, banyak dari masyarakat memilih berobat di klinik swasta. 

Jika ditanyakan apa alasannya, kebanyakan akan menjawab bahwa preferensinya terhadap klinik swasta dilandaskan atas dasar kenyamanan. Pasien-pasien merasa antrian di klinik swasta jauh lebih sedikit dibanding jika mereka berobat ke Puskesmas. Padahal, di kebanyakan klinik swasta, paling tidak saya bisa memastikan di daerah di mana saya pernah bekerja beberapa bulan sebagai dokter di klinik swasta, tidak memiliki kapasitas untuk melakukan pemeriksaan penunjang untuk diagnosis TB. Pasien akhirnya akan diminta untuk memeriksakan dirinya ke pelayanan kesehatan yang memiliki fasilitas BTA ataupun Tes Cepat Molekuler (TCM), dan lagi, tak menutup kemungkinan menambah pasien-pasien tuberkulosis yang menghilang.

Memperhatikan kapasitas diagnostik dari masing-masing jenis pelayanan kesehatan yang tak merata kemudian menjadi kunci utama, seperti pemenuhan alat-alat kesehatan hingga obat-obatan yang seyogyanya diwajibkan tersedia di fasilitas kesehatan tingkat pertama. 

Tidak boleh lagi ada Puskesmas yang tak memiliki fasilitas BTA, apalagi mikroskop yang hanya jadi pajangan. Menempatkan diri sebagai pasien, membayangkan jika kita yang harus dilempar kesana kemari untuk mendapatkan diagnosis atas penyakit yang kita derita tentu saja tak enak rasanya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun