Mohon tunggu...
fatma ariana
fatma ariana Mohon Tunggu... -

hamba Allah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bapak dan Demensia Vaskuler (Part II)

25 November 2015   10:49 Diperbarui: 25 November 2015   12:34 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karena kami trauma datang ke tempat praktik dokter saraf yang killer itu, juga atas saran seorang teman di Ngawi yang bapaknya juga mengalami sakit seperti bapak, kami alihkan pengobatan bapak ke dokter saraf di Ngawi. Kami sekeluarga legowo menganggap memang sudah waktunya bapak pikun, yang kami cegah cuma agar bapak tak pergi sembarangan karena takut nyasar.

Perkembangan selanjutnya cukup melegakan, bapak mulai kenal dengan orang-orang di sekitarnya terutama ibu dan kami anak-anaknya meski beliau lupa nama-nama kami, bapak juga bisa pergi dan pulang dengan selamat dari tempat-tempat yang sering dikunjunginya : masjid dan musholla, juga rumah teman-temannya sesama pensiunan.

Satu hal yang lagi yang amat saya syukuri, bapak masih rajin sholat ke masjid dalam kondisi sakit seperti itu. Dalam rangka mengajak bapak refreshing, bapak saya ajak ke rumah kontrakan saya di Magetan. Jumat sore bapak datang diantar kakak-kakak saya. Malam pertama bapak menginap di rumah berjalan lancar, begitupun esoknya, sabtu pagi yang ceria : saya, suami, Fahri dan kakeknya berjalan-jalan di komplek perumahan dekat kontrakan saya..pulangnya terjadilah sesuatu yang tak saya duga, Fahri yang dari kemarin sebenarnya sudah mulai demam tiba-tiba rewel dan menangis, dan beberapa saat kemudian kejang.

Paniklah kami, saya yang baru sekali itu melihat Fahri kejang (ini kejang kedua) langsung gemetar dan lutut rasanya lemas. Bapak yang melihat kami panik merubung Fahri yang sedang kejang berucap "Allah..Allah" melihat keadaan cucunya. Saya dan suami segera naik motor menuju bidan terdekat, Bu Budi. Di tempat Bu Budi Fahri sempat diberi oksigen namun Bu Budi kemudian mengantarkan kami ke rumah sakit. Alhamdulillah keadaan Fahri mulai membaik, tak terkira betapa leganya saya melihat anak saya itu menangis keras begitu sadar dari kejangnya. Ketika saya dan suami sibuk mengurus Fahri di rumah sakit, rupanya keadaan di rumah kontrakan saya tak kalah kacau. Sepeninggal saya dan suami, bapak cuma di rumah dengan rewang saya, Mbah Yem.

Bapak mulai gelisah karena tak ada orang yang dikenalnya di rumah dan mulai ingin keluar rumah. Mbah Yem mengikuti terus kemana bapak pergi, di daerah yang sama sekali tak dikenal bapak..bapak bahkan membawa tas bayi besar berisi barang-barang saya dan mencoba menghentikan mobil yang lewat, entah hendak kemana..Mbah Yem yang panik meminta tolong tetangga saya untuk membujuk bapak agar pulang, tapi tentu saja tak berhasil, karena mereka bukan orang-orang yang dikenal bapak. Suami saya pun rupanya juga tidak termasuk orang-orang yang dikenali bapak sehingga ia pun gagal membujuk bapak pulang. Akhirnya saya dijemput suami sementara Fahri di rumah sakit dengan Mbah Yem. Suami membawa saya ke pelataran parkir sebuah sekolah di kota Magetan yang sebenarnya tak jauh  dari rumah kontrakan saya.

Di sana saya melihat bapak duduk dengan tatapan kosong. 8 tahun lalu, bapak juga duduk di pelataran parkir sekolah itu untuk menunggui saya ujian CPNS, tapi tentu saja karena penyakitnya, bapak tak lagi ingat peristiwa tersebut. Pak Mochtar, teman suami saya yang kebetulan guru di sekolah tersebut juga gagal membujuk bapak. Sore itu mulai gerimis, sambil berpayung saya ajak bapak bicara baik-baik, saya bujuk beliau pulang ke kontrakan, tapi hanya gelengan kepala yang saya dapat.. saya mulai putus asa, segala tekanan hari itu mulai meledak dalam tangis, terutama jika saya melihat keadaan bapak yang dulu gemuk sekarang mulai mengurus sejak terkena penyakit tersebut, beberapa luka kecil di tangan dan kaki karena koordinasi badan yang mulai lemah dan sering jatuh, juga tas besar yang beliau bawa.

Saya menangis seperti anak kecil. Bapak mengeluarkan reaksi yang di luar dugaan saya, beliau kaget dan berusaha membujuk saya untuk tak menangis sambil memeluk saya, tangis saya makin menjadi. Akhirnya bapak luluh juga, beliau mau diajak pulang, saya tuntun bapak pulang menuju kontrakan untuk menunggu mbak ida datang menjemput bapak, sementara suami saya kembali ke rumah sakit. Di rumah saya buatkan minuman hangat, kami ngobrol seolah tak terjadi apa-apa, seolah bapak tak pernah terkena serangan stroke itu..saya potong kuku di jari tangannya yang mulai panjang. Duh bapak yang dulu sering dialem teman-teman kantor saya karena masih tampak muda dan gagah dalam usia yang tak lagi muda, kini terlihat jauh lebih tua..Bapak yang dulu setia mendampingi saya ke manapun, mendaftar kuliah, mengunjungi saya di asrama putri, jauh-jauh dari Ngawi ke Bandung hanya untuk mengantar berkas-berkas persyaratan beasiswa saya, mengantar saya mencari surat-surat pendukung untuk mendaftar CPNS, menunggui saya ujian ah..Bapak..how i love you so..

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun