Bingung, Â heran, Â takut bercampur dalam perasaannya. Â Dia hanya anak kampung yang bermodal "cuma ingin tau" datang ke madrasah elit nan terkenal di Lombok itu
MAPK orang menyebutnya, Â madrasah yang terkenal dengan konsistensi dan kedisiplinan yang membuatnya semakin takut untuk menjalani hari-hari yang begitu berat dengan berbagai aturan yang harus ia ikuti
"Tiga tahun, Â ah sepertinya aku tak mampu" pikirnya..
Hari semakin sore, Â madrasah yang mulanya ramai dengan wali santri yang mengantar anak-anak mereka kini mulai sepi, Â rasa sedih, Â takut, Â bimbang menyelimuti relung hati, Â ingin pulang namun tak mampu, Â harus menunggu empat puluh hari untuk bisa bertemu dengan orang tua
Malam pertama, Â pandangannya tertuju pada seorang teman senasib yang sedang menangis. Ah.. Â Kita sama saja, Â hanya saja ada yang jiwanya kuat sehingga tidak perlu menangis untuk mengungkapkan sedihnya ada pula yang perlu menangis untuk mengungkapkannya
"yang nangis nanti kita rendam dia". Itulah ancaman pertama yang tertanam dalam benaknya. Ia baru bangun dari mimpi panjangnya, Â ia baru sadar bahwa dia sedang berada dalam penjara
Hari pertama,  dibacakan sederet aturan yang harus ia jalani  beserta punishment-nya. Dipukul, dibotak,  diskor,  disidang di depan semua santri melayang dalam kepalanya seolah dialah yang sedang mengalaminya..Â
Ah.. Â Aku terbangun..Â
Aku terbangun dari nostalgia panjang ku..Â
Iya.. Â Semua itu terjadi enam tahun yang lalu, Â kejadian mengerikan yang kini aku rindukan..Â
Aku rindu aturan itu, Â rindu kedisiplinan itu, Â rindu nasehat itu..Â