Pemuda berambut gondrong itupun bangun dari tidurnya. Dari atas bukit berbatu penuh ilalang panjang. Berdiri lalu berjalan tergesa-gesa. Deru nafasnya tak menentu. Kadang kencang seperti dikejar setan; kadang pelan seperti orang kelelahan. Kakinya tanpa alas. Tubuhnya  kurus.
Pemuda berambut gondrong itu berjalan menuruni bukit. Bukit yg buat ia merasa tenang dan damai. Tubuh kurus dengan kaki telanjangnya kuat berjalan menuruni jalan berbatu penuh ilalang. Sesekali berlari kecil menuju jalan aspal. Tak lama, ia sudah berdiri di jalan aspal. Sejenak ia menengok sekeliling. Sepi. Tak ada yg lewat. Masih pagi, begitu pikirnya.
Sejauh mata memandang terpampang indah Danau Toba. Sebuah pulau kecil di tengah Danau, menambah keindahan alam ciptaan-Nya. Pun, mentari pagi yg hadir memberi kehangatan. Pagi yg indah!
Pemuda berambut gondrong lalu berlari di jalanan yg sepi. Rasa haus dan lapar membuat lari-nya semakin kencang. 10 menit berlari, larinya terhenti di depan warung kopi yg sudah buka. Ia mendekati warung tsb. Beberapa ekor anjing menyambut Pemuda itu dengan gonggongan. Dari dalam warung, seorang Ibu datang menghalau dan menenangkan anjing-anjing itu.
Melihat Pemuda berambut gondrong itu, Ibu pemilik warung, bertanya.
"Mau apa?" tanya ibu itu
"Tolong buatkan kopi!" pinta Pemuda itu dengan wajah memelas
Pemuda itu lalu melendeh. Duduk bersandar di kursi kayu panjang dengan meja panjang. Di atas meja tergeletak sebuah Gitar.
Pemuda itu memainkan Gitar. Jreng! Petikan Gitar Pemuda itu tidak beraturan. Asal. Dari mulutnya, terdengar syair lagu Iwan Fals:
"Semoga hidup kita bahagia, semoga hidup kita sejahtera."
Pemuda itu berulang-ulang menyanyikan syair lagu itu. Terus menerus lirik lagu itu ia perdengarkan. Tak peduli petikan gitarnya yg tak beraturan. Ia termangu. Seakan tidak ada lagu lain yg ia hapal. Syair lagu itu membekas di hati dan jiwanya.