Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Pendidikan, Masalah Hukum atau Kemanusiaan?

17 April 2018   14:30 Diperbarui: 17 April 2018   14:40 679
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(M Latief/KOMPAS.com)

Masih ramai, bebererapa pekan terakhir publik disibukkan dengan topik pembicaraan dari dunia pendidikan, salah satunya soal berita kurang sedap dari Kota Sate, yakni Sampang. Dari berita berdomain blogspot hingga koran-koran ternama, nyaris sama kompaknya memberi headline'Pembunuhan Guru oleh Murid'. 

Karena terlalu banyak versi cerita yang kurang bisa dipertanggung jawabkan, maka ambil saja kesimpulan bahwa si Murid memukul sang Guru karena ditegur, yang ternyata berujung pada kematian sang Guru. Akibat tindakannya ini, si Murid dijatuhi pasal 338 KUHP dengan hukuman 6 tahun penjara.

Belum surut total arus berita dari Kota Sampang, baru-baru ini publik juga dibuat ramai oleh berita yang nyaris serupa dari Kota Lumpia, yakni Semarang. Singkat cerita, dua murid dari salah satu sekolah unggulan di kota tersebut terancam mesti angkat kaki dari sekolahnya karena dituding telah melakukan tindak bullying yang mengakibatkan salah seorang juniornya meninggal dunia.

Sebagian besar golongan di kalangan publik tentu saja menunjukkan sikap setuju terhadap hukuman yang ditujukan untuk pelaku-pelaku pada kasus serupa. Malah mungkin kalau bisa, beri hukuman mati saja,pikir mereka. Amat disayangkan, di saat moral lembaga pendidikan masih perlu dipertanyakan, pikiran-pikiran tersebut justru malah memanaskan situasi yang sudah terlanjur salah. 

Sebagian besar kalangan hanya melihat dari kaca mata korban kekerasan, tanpa sedikitpun melihat, atau bahkan berpikir untuk melihat dari sudut pandang pelaku. Tak semua orang tau dan ingin tau, bahwa murid-murid tertuduh tersebut sering menangis di dalam kamar mereka dan bahkan salah seorang di antaranya nyaris stres dengan bernyanyi-nyanyi sendiri di balik jeruji penjara. Jika memang berdalih dengan mengatas namakan kemanusiaan, maka apakah mereka, pelaku-pelaku kekerasan, sudah tidak dapat  disebut manusia?

Di sinilah peran pendidik mulai dipertanyakan. Apakah ketika ada siswa bermasalah harus langsung di-judge salah dan dikembalikan kepada orangtua mereka? Dimanakah letak langkah pendidikan yang seharusnya diambil? Jika hanya mengambil tindakan untuk mengeluarkan siswa, maka dimanakah kata 'mendidik' harus ditempatkan? Karena pertanyaan utama yang harus dijawab saat ini adalah bukan bagaimana cara mengurangi populasi siswa bermasalah, tetapi bagaimana cara untuk merubah populasi siswa bermasalah agar kembali ke track yang benar.

Ada sebuah cerita masyhur yang pernah saya dengar, berjudul Kemanusiaan Gusdur dalam Sehelai Kutang. Setelah menempuh pendidikan pesantren di Tegalrejo, Magelang, dengan berguru pada Kiai Chudhori, Gus Dur diminta Kiai Haji Abdul Fattah Hasyim, pamannya, untuk membantu mengurus Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas di Jombang pada 1959. Singkat cerita, kala itu, Gus Dur diamanahi oleh Kiai Fattah untuk menjadi kepala keamanan pondok pesantren. 

Suatu ketika, Gus Dur menangkap basah seorang santri yang sudah beliau incar sebelumnya, memiliki kutang yang berasal dari pondok putri. Berbekal barang bukti bahwa si Fulan sering mesum dan mengintip pondok putri, majulah Gus Dur untuk menemui Kiai Fattah. Sudah bulat keputusan Gus Dur untuk mengajukan agar si Fulan dikeluarkan.

Melihat sikap Gus Dur ini, tentunya terasa familiar dengan sikap publik dan lembaga pendidikan terhadap kasus-kasus serupa. Karena dilihat dari segi hukum dan peraturan manapun, si Fulan jelas terbukti salah dan pantas untuk dikeluarkan. Namun sebaliknya, Kiai Fattah dengan enteng menanggapi laporan Gus Dur, "Kalau lapor ke aku, lapor santri yang sudah baik, sudah pintar, biar aku keluarkan dari pondok. 

Orang tua santri itu berharap anaknya pulang dari pondok biar jadi makin baik, bukan malah jadi tambah nakal," sehingga bukannya dikeluarkan, si Fulan yang terkenal sebagai biang onar pondok justru ditempatkan di rumah Kiai Fattah untuk mendapatkan tugas khusus sebagai ganti dikeluarkan dari pondok. Jika sebagian besar orang berpikir bahwa hukuman tersebut tidak akan menimbulkan efek jera, ternyata tidak begitu kenyataannya. Dengan kebiasaan rutin membantu Kiai Fattah, si Fulan menjadi terbiasa dengan kebiasaan-kebiasaan baik yang dilakukan oleh Kiai Fattah.

Hukuman spesial yang diberikan Kiai Fattah ini seharusnya menjadi pukulan telak bagi dunia pendidikan saat ini. Jika Kiai Fattah hanya ikut apa kata hukum saat itu, dan si Fulan memang benar harus diusir, pondok pesantren jelas tidak akan rugi, dan Kiai Fattah tidak akan repot. Namun, tentu saja si Fulan akan kehilangan kesempatan untuk bisa berubah menjadi orang yang lebih baik. Dengan langkah sederhana, Kiai Fattah menunjukkan bahwa ada yang lebih penting daripada sekadar mengikuti nalar hukum, yaitu mengikuti nalar kemanusiaan. Tentu saja bukan hanya kemanusiaan korban, tetapi juga kemanusiaan pelaku. Karena bagaimanapun, korban dan pelaku masih sama-sama manusia kan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun