Mohon tunggu...
Arfan Syarif Prabowo
Arfan Syarif Prabowo Mohon Tunggu... Mahasiswa S1 Psikologi Universitas Airlangga.

.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Kebebasan Berekspresi: Napas Demokrasi yang Harus Dijaga

6 Agustus 2025   00:36 Diperbarui: 6 Agustus 2025   00:40 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dalam era demokrasi modern, kebebasan berekspresi bukan hanya sekadar hak untuk berbicara, melainkan salah satu pilar utama yang menjamin partisipasi aktif masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui kebebasan ini, rakyat bisa mengawasi jalannya pemerintahan, menyuarakan aspirasi, bahkan mengoreksi kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan publik. Namun sayangnya, masih sering kita jumpai kebebasan ini dibatasi dengan alasan "menjaga ketertiban umum". Sekilas memang terdengar logis, tetapi bila ditelusuri lebih dalam, justru cara pandang semacam ini bertentangan dengan semangat demokrasi yang sejati.

Sebagai mahasiswa--yang sering disebut sebagai agen perubahan--kami melihat bahwa pembatasan kebebasan berekspresi justru bisa melumpuhkan fungsi kontrol sosial yang penting dalam sistem demokrasi. Ketika ruang untuk berpendapat dipersempit, kritik dianggap ancaman, dan perbedaan pandangan dibungkam, maka demokrasi hanya akan menjadi slogan tanpa makna. Negara yang terlalu sensitif terhadap suara rakyat bukan sedang menciptakan ketertiban, tetapi justru sedang membangun budaya kepatuhan karena rasa takut.

Padahal, secara hukum, kebebasan ini telah dijamin oleh konstitusi. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dengan jelas menyatakan bahwa "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat". Sementara itu, Pasal 28F memberikan hak kepada setiap orang untuk "mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan segala jenis saluran". Artinya, hak ini bukan hadiah dari negara, melainkan hak dasar yang melekat pada setiap warga negara dan wajib dilindungi, bukan dibatasi sembarangan.

Namun, realitas di lapangan justru menunjukkan sebaliknya. Pasal-pasal karet dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), seperti Pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik dan Pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian, sering disalahgunakan untuk membungkam suara-suara kritis. Banyak aktivis, jurnalis, bahkan masyarakat biasa harus berhadapan dengan aparat hukum hanya karena mengutarakan pendapat di media sosial. UU yang awalnya dimaksudkan untuk menjaga etika digital justru berubah menjadi alat represi yang membahayakan demokrasi.

Mengklaim menjaga ketertiban sebagai alasan membungkam ekspresi adalah logika yang menyesatkan. Demokrasi yang sehat justru tumbuh dari keberagaman pendapat, ruang dialog yang terbuka, dan keberanian untuk menyuarakan kebenaran. Tanpa kritik, roda pemerintahan akan kehilangan kendali moralnya. Ketika suara-suara alternatif dipinggirkan, maka yang tersisa hanyalah keseragaman yang membosankan, bahkan membahayakan.

Tentu, kebebasan berekspresi bukan berarti bebas tanpa batas. Ada ruang di mana ekspresi harus dikendalikan, misalnya dalam kasus ujaran kebencian, provokasi kekerasan, atau penyebaran hoaks yang meresahkan publik. Namun, pembatasan ini harus dilakukan secara hati-hati, adil, dan berdasarkan hukum yang objektif. Hukum tidak boleh dijadikan alat politik untuk menekan suara yang tidak sejalan dengan kepentingan penguasa. Ia harus hadir sebagai pelindung hak warga, bukan sebagai penghambat partisipasi mereka.

Kami, selaku mahasiswa, merasa memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga agar ruang kebebasan ini tetap terbuka. Demokrasi tidak akan tumbuh dari masyarakat yang takut bicara, melainkan dari mereka yang berani menyuarakan pikirannya--meski berbeda, meski minoritas. Di sinilah letak napas demokrasi yang sejati: bukan pada senyapnya kritik, tetapi pada ramainya suara rakyat yang ingin didengar. Maka dari itu, kami menegaskan bahwa kebebasan berekspresi bukan musuh dari ketertiban, melainkan syarat utama bagi lahirnya bangsa yang demokratis, adil, dan beradab karena dari sanalah terlahir napas rakyat yang merdeka--pada suara-suara yang tak takut bersuara.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun