Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Merawat Keberagaman Bangsa Dalam Meruwat Negeri di Candi Kidal, Malang

20 Februari 2017   16:33 Diperbarui: 21 Februari 2017   15:45 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Candi Kidal saat ritual puja agung Singhasari.

Setahun terakhir, suhu dinamika kehidupan sosial masyarakat di negeri ini terasa cukup panas. Terutama bagi masyarakat yang lebih banyak dipengaruhi berita pemilihan kepala daerah di Jakarta melalui media sosial maupun televisi. Demi rating, stasiun televisi mencoba mengupas tuntas setiap ucapan, tindakan, atau putusan pribadi maupun kelompok dan institusi yang berusaha mencari dan merebut hati para pemilih.

Tak terkecuali, banyak warga penggemar media sosial yang berani menyampaikan pendapat secara terang-terangan berseberangan dengan warga lain dengan lontaran kalimat-kalimat yang cenderung sebagai ucapan seorang agitator. Tak terkecuali tokoh masyarakat dan agama yang seharusnya memberi teladan dengan ucapan yang meneduhkan daripada hembusan badai yang dapat membawa badai bagi kehidupan masyarakat.

Membaca keadaan yang agak panas dan dipandang bisa membawa ke arah perpecahan, beberapa pemerhati budaya dan masalah sosial di wilayah Malang mengadakan ruwatan untuk negeri ini di Candi Kidal, Kabupaten Malang pada Sabtu – Minggu, 18 – 19 Februari 2017.

Acara di mulai jam 20.30 hingga 23.45 merupakan acara awal yang bersifat seremonial dan hiburan. Di awali dengan tembang macapat dandanggula Kidung Rumeksa ing Wengi karangan Sunan Kalijaga yang dilantunkan oleh Si Marni ( Lilik Sindhen ), para peserta diajak mempersiapkan batin dalam keheningan malam.

Ana kidung rumekso ing wengi
Teguh hayu luputa ing lara
luputa bilahi kabeh
jim setan datan purun
paneluhan tan ana wani
niwah panggawe ala
gunaning wong luput
geni atemahan tirta
maling adoh tan ana ngarah ing mami
guna duduk pan sirna

Pendarasan macapat dandanggula.
Pendarasan macapat dandanggula.
Suara lembut yang disahut spontanitas puluhan para peserta dari berbagai padepokan Kejawen dan Kebatinan bersamaan dengan suara binatang malam semakin membawa ke suasana sakral dan syahdu untuk melakukan ritual Puja Agung Singhasari. Demikian juga saat menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan Ibu Pertiwi, beberapa peserta tampak tak bisa melanjutkan karena begitu terharu hingga menitikkan airmata.

Suasana sedikit mencair, kala memasuki acara hiburan dengan menampilkan Tari Bapang yang merupakan tari asli dari Kota Malang dan ular-ular atau penjelasan tentang kegiatan ruwatan yang sebenarnya sudah ada sejak jaman Kerajaan Singhasari seperti yang tertulis dalam Kitab Pararaton. Ki Suryo selaku pemerhati masalah budaya dengan penuh semangat menjelaskan secara gamblang hingga para peserta duduk terpana.

Tari Bapang
Tari Bapang
Tari Jaran Kepang
Tari Jaran Kepang
Demikian juga saat penampilan seni tari Jaran Kepang dari Turen (Babad Tanah Jawi: Turyanpada) dan beladiri nasional pencak silat dari wilayah Singosari (Babad Tanah Jawi & Pararaton : Singhasari atau Tumapel)

Suasana kembali menjadi hening dan sakral, saat memasuki Ritual Puja Agung Bhakti Leluhur Singhasari yang diawali dengan doa secara bergantian oleh setiap pemeluk tiap agama. Sebagai doa pembukaan oleh Ki Suryo pemimpin acara ritual sebagai wakil agama Islam, dari wakil Kristiani saya sendiri yang mendaraskan, dan dilanjutkan dari Padepokan Gunung Kawi dan juru kunci Candi Kidal.

Ki Suryo saat menyampaikan ular-ular atau wejangan.
Ki Suryo saat menyampaikan ular-ular atau wejangan.
Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Jam 24.00, tepat tengah malam acara ritual ruwatan dilaksanakan dengan pendarasan pujian bagi leluhur dengan iringan lembut sebuah tembang macapat Pangkur yang didaraskan secara sayup-sayup.

Malam semakin larut dalam keheningan mengajak semua peserta dalam semedi untuk mengheningkan diri dalam kesunyian yang menjauhkan diri dari kehidupan duniawi semata yang jika tak terkendali hanya akan membawa petaka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun