Salah satu alasan saya menjadi kompasianer adalah ingin menunjukkan kebolehan sebagai seorang tukang poto amatir. Selain sebagai seorang pecinta alam, petualang, serta pemerhati masalah seni dan budaya tradisional, dan tentu saja sebagai seorang guru sekolah dasar.
Belum sempat unjuk gigi tentang potograpi, sudah dibuat keder oleh anggota Kampret ( kompasianer hobi jepret ) atau para Kampretos yang handal-handal seperti Mas BB, Harja S, Mbak Della Anna, Mbah Maria, Dhanang Dave, dan lainnya. Walau pernah memenangkan salah satu kegiatan Kampret, toh belum berani menjadi anggota. Maklum, sudah tua dan kameranya ketinggalan jaman.
Bicara tentang kamera, setiap pecinta potograpi atau yang hobi moto pasti akan berpikir tentang kamera DSLR. Repotnya, jika ikut sebuah komunitas pecinta potograpi seakan-akan kita diarahkan untuk menggunakan kamera DSLR. Sehingga jika melakukan kegiatan poto di luar ( ruangan ) menjadi tidak percaya diri dengan kamera saku apalagi ‘hunting’ bersama-sama sebuah komunitas.
Saya sendiri memang mempunyai tiga buah kamera kelas menengah dan tiga lensa berbeda, tetapi semua hanya untuk mencari duit sebagai tukang poto. Sedang untuk kegiatan potograpi di luar atau sekedar melampiaskan hobi cukup menggunakan kamera saku.
Poto-poto yang saya pampang di sini dan 80 % yang pernahsaya posting di Kompasiana adalah hasil dari kamera saku dengan spesifikasi 12,1 MP dan 4X optical zoom. Saat itu harganya tak lebih dari satu setengah juta rupiah dan saya kira dengan harga yang sama kualitas lebih bagus. Hingga sekarang kamera telah berumur sekitar 4 tahun dan masih baik serta telah menghasilkan 20.000 file.
Jadi jangan ragu dan malu atau tak percaya diri menggunakan kamera saku. Sebab kamera saku juga bisa menghasilkan foto yang baik, tajam, dan bersih dengan berbagai kondisi dan cuaca seperti contoh-contoh ini.
[caption id="attachment_328405" align="aligncenter" width="500" caption="Camar yang sedang terbang pun terbidik."]
