Dalang sebagai salah satu seniman yang khusus melakoni seni wayang memang salah satu profesi yang jarang ditekuni dengan alasan yang klasik, kurang menguntungkan secara ekonomis sebagai pendapatan.
Sekali pun jika sudah terkenal maka honornya pun puluhan hingga ratusan juta jika melibatkan seluruh awak mulai dari wiyaga (penabuh gamelan), sindhen, pelawak, panjak, bahkan gamelan, pengatur gamelan, dan wayang kulitnya sendiri sebagai satu kesatuan.
Namun demikian, selama sepuluh tahun terakhir jumlah peminat dari kaum muda (anak-anak dan remaja) yang ingin menjadi dalang cukup meningkat. Setidaknya ini bisa terbaca dari penampilan dalang cilik seperti di Malang, Blitar, Tulungagung, Trenggalek, Lumajang, dan Jogja.
Di Malang sendiri, khususnya di wilayah timur selama 5 tahun terakhir telah melahirkan 8 dalang cilik. Dan tadi malam telah dilahirkan kembali seorang dalang cilik yang masih duduk di kelas 4 SD, bernama Zulfikar Nus Hasyim Maulidi putra Ali Nur Saikhu dan Siti Isyaroh dari Desa Pakis, Malang.
Sebuah kelahiran dalang cilik baru ditandai dengan acara ritual inisiasi di sebuah mata air besar atau sendang Widodaren yang berada di tengah Taman Wisata Alami Wendit yang tak jauh dari Desa Pakis.
RituaI inisiasi ini diadakan tepat pada weton atau hari kelahirannya menurut penanggalan Jawa dan kebetulan tepat pada malam purnamasidhi yang merupakan salah satu malam yang dihormati sebagian orang Jawa sebagai malam yang indah untuk secara khusus berdoa kepada Sang Maha Kuasa, pencipta alam semesta (Jawa: Gusti Kang Akarya Jagad).
Ritual diawali dengan pembacaan atau pendarasan tembang-tembang macapat oleh komunitas budaya dan penghayat kepercayaan dalam suasana temaram di bawah naungan cahaya bulan yang kadang tertutup oleh kabut tipis.
Di tepi sendang, Ki Soleh Adi Pramono dan Ki Supriyono sebagai guru dalang di Padepokan Seni Mangun Dharmo melakukan ritual memandikan Zulfikar Nus Hasyim Maulidi calon dalang cilik.
Setelah mandi dengan cara menyelamkan diri dan berjalan di tengah sendang sepanjang 10m, si calon dalang lalu meminta doa restu pada sang guru dalang, kedua orang tua, para sesepuh dan budayawan yang hadir.
Jam 9 malam acara ritual selesai langsung dilanjutkan pementasan perdana wayang kulit oleh Zulfikar Nus Hasyim Maulidi yang kini secara resmi telah menjadi dalang. Namun tetap harus belajar dan berlatih di padepokan atau tempat di mana pun yang ia kehendaki dan tentunya tetap di bawah bimbingan orangtua dan sesepuh.
Lakon yang diambil merupakan lakon carangan atau kisah sempalan dari kisah Mahabarata sebenarnya dengan judul Pandu Swarga yang mengisahkan tentang keinginan Bima membebaskan Pandu dan Dewi Madrim dari siksa neraka atau kawah Candradimuka karena dosa-dosa mereka.
Ketekadan Werkudara menyelamatkan Pandu dan Dewi Madrim membuat panas api neraka mereda dan mati sehingga mereka berdua terselamatkan dan dibawa menuju swargaloka oleh para bidadari.
Tepat jam 11 malam, kala purnama mulai mendekati di atas kepala pagelaran wayang selesai. Sambutan hangat dari para penonton yang jumlahnya sekitar dua ratus orang disambut haru orangtua Zulfikar Nus Hasyim Maulidi.
Acara ritual inisiasi penjamasan dalang cilik gaya wetanan (Jawa Timuran) memang beda dengan upacara atau ritual dengan pelantikan dalang di tempat lain. Malam ini ritual inisiasi gaya Malang.
Pagelaran wayang kulit di tanah Jawa ada gaya kulonan dan gaya wetanan. Gaya kulonan lebih terpengaruh oleh budaya Jogja dan Solo dengan menggunakan bahasa Jawa halus serta iringan karawitan yang rancak lembut.
Gaya kulonan biasa lebih banyak digelar di Blitar, Trenggalek, Tulungagung, Ponorogo, Madiun, hingga ke sekitar Cirebon.
Gaya wetanan disebut juga wayang jekdong karena unsur kendang lebih banyak untuk dinamika permainan sabetan wayang dan tembang-tembang yang dilantunkan. Iringan karawitannya tentu saja lebih dinamis menghentak. Bahasa Jawa yang digunakan pun masih tercampur dialek lokal dan tidak sehalus Jogja dan Solo.
Namun demikian bagi sebagian kaum muda milenial belum tentu bisa menghayati sepenuhnya. Bahasa Jawa tak lagi sepenuhnya menjadi bahasa ibu.