Tetapi untuk motor sebagai penghubung ke rumah tetangga melewati jalan raya desa yang hanya berjarak tak lebih dari 1 Km namun naik turun masih diperkenankan.Â
Jika para pria diperbolehkan membeli motor dan mobil, maka para wanita pun mempunyai hak yang sama menikmati harta milik sebagai kekayaan materi yang pantas dinikmatinya. Tidaklah mustahil, jika pada hari raya Karo, di mana masyarakat Suku Tengger mengadakan pesta makan bersama di makam umum (keramat) para wanita tampak mencolok memakaian perhiasan emas. Kalung yang besar, gelang dan cincin lebih dari tiga, giwang gedhe dari emas adalah tanda keberhasilan dalam mencari nafkah.
Hal yang membanggakan pada kaum wanita masyarakat Suku Tengger yang sudah tersentuh cara berpakaian cara luar, tetaplah menghargai, mengikuti, dan menjalankan kehidupan budaya dan kearifan lokal sesuai dengan kodrat tanpa merasa tidak ada persamaan gender.
Kedudukan pria dan wanita yang setara sedemikian rupa, di mana wanita bukan sekedar 'kanca wingking'Â atau teman di belakang merupakan hal yang tak mungkin terjadinya poligami.
Hidup dalam kekeluargaan yang amat kental dan terjaga demikian ketat, sebab perkawinan lebih banyak pada keluarga besar, maka gossip miring atau isu panas sulit terjadi. Sekali pun bukan berarti tidak mungkin, terlebih bagi mereka yang hidup di wilayah ngare atau di luar desa yang ada di bawah gunung atau ngarai dalam arti di daerah kota.
Tersingkir dalam kehidupan sosial merupakan hukuman yang sulit dihindari yang bisa membuat keterpurukan sosial yang miris. Maka sebelum semua terjadi, ketika gossip dan isu merebak, orangtua dan tetua adat akan menanyakan secara langsung kepada yang bersangkutan.
Maka pertanyaan 'mana dan kapan...' hanya akan saya jawab pada para tetua adat bahwa banyak wanita lain di hatiku dan di hati kami di Desa Ngadas ini. Jawaban yang sama-sama membuat kami tersenyum. Perselingkuhan adalah dosa besar dan poligami adalah mustahil bagi kami.
Hong mandara ulun basuki langgeng....