Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

"Omah Gedhek", Rumah Berdinding Anyaman Bambu

16 April 2018   20:01 Diperbarui: 17 April 2018   04:34 5949
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau pembaca pernah ke pelosok desa, atau pernah tinggal di desa tentu pernah melihat rumah yang berdinding anyaman bambu, dalam Bahasa Jawa disebut omah gedhek. Bahkan dulu mungkin pernah tinggal di rumah gedhek. Penulis sendiri pernah mengalami tinggal di rumah gedhek antara tahun 1969-1976.

Rumah gedhek sering diidentikkan dengan kemiskinan. Padahal, penghuni dan pemilik rumah gedek kadang mempunyai kebun yang cukup luas di sekitarnya. Seperti yang tampak dari foto di bawah ini, dua omah gedhek dengan kebun salak yang ada di Desa Widodo Martani, Sleman. Mungkin karena sudah berumur puluhan tahun, sehingga gedheknya yang hanya disaput dengan kapur tampak begitu kusam. Ditambah lagi dengan kebun salaknya yang kurang terawat sehingga semakin menunjukkan penghuninya termasuk keluarga tidak sejahtera.

Gedhek atau anyaman bambu untuk dinding rumah ada tiga jenis. Pertama, bambu setelah dipotong sepanjang 2 -- 3m lalu dibelah menjadi dua, kemudian dipukuli ( Jawa: dipeprek ) hingga menjadi belahan-belahan tetapi tetap menyatu. Atau bisa juga, potongan bambu dibelah dengan ukuran 2 -- 3 cm lalu dianyam tiga-tiga. Anyaman bambu seperti ini biasa disebut sesek.

Gedhek atau sesek seperti ini, tampak cukup kuat dan kokoh, tetapi karena potongan bambu tidak dibelah tipis, maka ada lubang-lubang di antara anyaman. Tentu saja, jika untuk dinding, maka angin akan mudah masuk di sela-sela anyaman. Dan, bukan hanya angin saja, tetapi bisa juga hewan liar seperti ular, ulat, kalajengking, bahkan musang dan macan rembah ( harimau pohon ). Dan, yang paling tidak nyaman saat kita tidur, dengkuran dan desahan bisa terdengar dari luar. Maka dari itu, dinding sesek biasanya dilapisi dengan kapur. Bahkan agar lebih kuat ada yang melapisi dengan tanah liat, baru kemudian disaput dengan kapur.

Dokpri
Dokpri
Dinding sesek. Dokpri
Dinding sesek. Dokpri
Jenis anyaman kedua, bambu yang telah dipotong sepanjang 2 -3m, lalu dibelah menjadi 6-8 buah tergantung diameter bambu. Setiap belahan lebarnya antara 1,5 -- 2 cm. Belahan ini, dibelah lagi tipis-tipis menjadi 2 -- 3 buah, sesuai dengan ketebalan bambu. Belahan bambu ini kemudian dianyam satu-satu. Anyaman seperti ini, lebih indah dan rapat sehingga angin yang masuk tidak terlalu kencang. 

Kelemahannya adalah gedhek menjadi agak lentur sehingga mudah peyok jika terdorong. Gedhek semacam ini jarang dipakai, selain untuk plafon atau peralatan rumah tangga atau dapur. Jadi agak sulit menemukan. Namun biasanya, justru digunakan untuk dinding kafe atau warung lesehan.

Jenis anyaman ke tiga. Dokpri
Jenis anyaman ke tiga. Dokpri
Dokpri
Dokpri
Jenis anyaman ke tiga, sama seperti ke dua, tetapi membelah belahannya cukup menjadi dua saja. Dan cara menganyamnya tiga-tiga atau menyilang. Orang Jawa menyebutnya ngepang. Anyaman ini lebih indah dan kuat dari yang lain. Demikian juga angin yang masuk tidak terlalu kencang. Hanya saja cukup banyak bambu yang dibutuhkan. Tetapi yang paling penting dan terutama, orang luar sulit mengintip apa yang terjadi di dalamnya.

Ada juga rumah gedhek yang tidak terbuat dari anyaman bambu, tetapi dari bambu yang dibelah kemudian dipaku di tiang penyangga rumah. Ini lebih kuat dari gedhek, tetapi selanya menjadi lebih banyak apalagi jika belahan bambunya tidak rata. Sehingga angin yang masuk lebih kencang dan desahan eh dengkuran pemilik rumah lebih terdengar.

Sesek jika dilihat dari dalam. Dokpri
Sesek jika dilihat dari dalam. Dokpri
Abaikan penghuninya di depan sesek. Dokpri
Abaikan penghuninya di depan sesek. Dokpri
Omah gedhek atau rumah gedhek, jika warna anyaman bambunya mulai pudar maka tampak kumuh, kusam, dan kotor, ditambah lagi aktifitas penghuninya mudah diintip, serta percakapan dan desahan eh dengkuran mudah didengar, maka omah gedhek atau rumah gedhek sekarang kurang diminati. Seperti juga yang penulis sebut di atas omah gedhek atau rumah gedhek sering diidentikkan dengan kemiskinan. Bila rumahnya masih berdinding gedhek dianggap memalukan. Maka dari itu, ada sebuah ajaran Jawa yang berbunyi 'rai gedhek' Artinya berwajah seperti gedhek. Bukan karena wajahnya bertampang jelek, kusam, dan kotor. Tetapi lebih berarti orang yang tidak punya rasa malu sedikit pun.

Penulis sebagai orang yang pernah menghuni omah gedhek, sebenarnya tidak senang bahkan tidak setuju jika ada sebutan 'rai gedhek' Tetapi karena, istilah 'rai gedhek' jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, justru berubah menjadi 'bermuka tembok' Artinya sama saja, tak punya rasa malu sedikit pun.

Paling kiri atas jenis anyaman ke dua. Kiri tengah: sesek. Depan: dinding bambu. Depan atas: jenis anyaman ke dua. Dokpri
Paling kiri atas jenis anyaman ke dua. Kiri tengah: sesek. Depan: dinding bambu. Depan atas: jenis anyaman ke dua. Dokpri
Omah gedhek dan kebun salak di Sleman.
Omah gedhek dan kebun salak di Sleman.
Nah, bila dinding rumah pembaca terbuat dari bambu atau gedhek, tak perlu malu. Yang penting dibangun dari hasil kerja keras yang halal. Daripada terbuat dari tembok tetapi bersikap 'rai gedhek' atau 'bermuka tembok' dengan cara korupsi dan menipu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun