Mohon tunggu...
Ardy Firmansyah
Ardy Firmansyah Mohon Tunggu... Freelancer - Mencari candu yang baru | Surat-surat Nihilisme

Lagi belajar nulis di Kompasiana~

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

HRS, FPI dan Matinya Demokrasi

11 Desember 2020   11:20 Diperbarui: 11 Desember 2020   14:53 1925
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Habib Rizieq dan FPI ancaman Demokrasi? Sumber Kompas.com AFP/ADITYA SAPUTRA

HRS, FPI dan Upaya untuk Menjaga Demokrasi

HRS adalah sosok yang kontroversial. Organisasi Front Pembela Islam (FPI) juga dikenal sebagai orang-orang yang keras, fanatik, dan radikal (katanya).  

Dengan landasan amar makruf nahi mungkar (perintah untuk menegakkan yang benar dan melarang yang salah), FPI  memiliki kewajiban untuk memberikan peringatan dan efek jera terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai dengan agama Islam, terutama berkaitan dengan kemaksiatan.

Jika dilihat dalam kasus penistaan agama yang dilakukan Ahok, FPI sangat keras menuntut mantan Gubernur DKI tersebut. FPI juga menggelar demonstrasi besar dengan nama "Aksi Bela Islam", yang paling ramai pada tanggal 4 November 2016 atau dikenal dengan aksi "411" dan 2 Desember 2016 yang juga disebut dengan aksi "212".

Aksi ini akan membentuk Presidium Alumni (PA) 212 yang kemudian mereka juga mengadakan Reuni 212 di Monas pada tanggal 2 Desember 2017.

Dalam pemilihan Presiden 2019, HRS juga menyatakan dukungan terhadap kubu Prabowo-Sandi. Selain itu FPI dan juga alumni 212 pernah mengerahkan massa untuk menggugat hasil Pilpres 2019.

Organisasi FPI yang digerakkan HRS ini seakan sudah menjadi motor politik. Selain dinilai fanatik dan radikal, massa mereka juga banyak. Mereka juga dinilai memakai "politik identitas" dan "populisme" untuk menyerang Ahok ketika Pilgub 2017 yang membuat Anies menang dalam pemilihan itu.

Narasi-narasi yang dirasa memecah belah ini juga dinilai akan merusak iklim demokrasi yang sehat. Jika melihat buku "Bagaimana Demokrasi Mati" dari Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, mereka memberikan empat indikator untuk mengenali tokoh otoriter dikembangkan dari "tes litmus" dari ahli politik Juan Linz, yang tujuannya untuk mengenali politikus antidemokrasi. 

1) Menolak aturan main demokrasi dengan kata-kata dan perbuatan, 2) menyangkal legitimasi lawan, 3) menoleransi atau menyerukan kekerasan, 4) menujukkan kesediaan membatasi kebebasan sipil lawan.

Tokoh publik (meski dalam buku hanya merujuk pada politikus, tapi sebenarnya indikator itu bisa merujuk pada tokoh populer yang berkaitan dengan politik juga) yang memenuhi satu indikator saja sudah mengkhawatirkan.

Kita bisa melihat sendiri bahwa HRS dan organisasi FPI mungkin masuk dalam keempat indikator tersebut. Kita lihat, dalam beberapa pertanyaan Indikator 1) menolak aturan main demokrasi dengan kata-kata dan perbuatan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun