Keakraban antara Ketua DPP PDI-P Puan Maharani dan Ketua DPP PDI-P Prananda Prabowo saat Bimtek di Bali disebut oleh banyak kalangan sebagai bukti tak adanya perbedaan politik di antara kedua anak Ketua Umum PDI-P Megawati Sukarnoputri. Keakraban tersebut juga menepis di partai berlambang banteng moncong putih itu tak ada dua faksi yang saling berebut pengaruh untuk membawa ke mana partai hendak berlayar.
Rangkulan Prananda di pundak Puan tak hanya menunjukan tak ada masalah di antara mereka namun juga sebagai ajakan kepada para kadernya untuk solid dan bersatu untuk menghadapi tantangan politik yang akan datang termasuk sikap bagaimana menyikapi terhadap kekuasaan Presiden Prabowo Subianto.
Perbedaan pendapat dan sikap soal arah partai selepas Pemilu 2024 dari Puan dan Prananda  tidak selesai begitu ada bimtek di Bali. Ada proses bagaimana mereka akrab. Dari sekian proses itu salah satunya pasti ada nasehat dari Megawati agar dua anaknya itu tidak memperuncing masalah. Diharap mereka tetap solid meski berbeda pandangan. Hal demikian ditekankan agar keberadaan partai tetap utuh.
Sebagai partai yang besar dan kerap memenangi pemilu legislatif dan pemilu presiden, banyak pihak yang ingin masuk ke dalam partai ini. Pada tahun 2024, santer disebut Joko Widodo ingin menjadi Ketua Umum PDI-P. Meski kabar itu dibantah oleh Puan namun hal yang demikian menunjukan ada orang di luar trah Sukarno yang ingin menjadi Ketua Umum PDI-P.
'Ancaman' seperti inilah yang perlu diwaspadai oleh seluruh kader partai agar tidak ada lagi dualisme partai seperti di masa Orde Baru. Untuk itulah Megawati menasehati kedua anaknya agar lebih mengedepankan persatuan partai di atas kepentingan pribadi. Nasehati itu didengar oleh dua anaknya sehingga masalah yang ada selesai dengan bukti Prananda merangkul Puan. Masalah selesai ini diakui oleh semua politisi PDI-P yang berada di Bali ikut bimtek.
Peran orangtua dalam menasehati anaknya untuk menjaga keutuhan dan kewibawaan partai juga terjadi di Partai Demokrat. Setelah gonjang-ganjing di Demokrat hingga akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengambil alih partai itu dan selanjutnya transisi kekuasaan di tubuh partai beralih ke Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Mengapa AHY padahal anaknya yang kedua, Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas), lebih dulu masuk ke dalam partai dan sudah malang melintang sebagai politisi di Senayan.
Pastinya SBY mempunyai pertimbangan tertentu sehingga memilih anaknya yang nomor pertama untuk menjadi Ketua Umum Demokrat. Presiden asal Pacitan, Jawa Timur, itu tentu menasehati AHY dan Ibas bagaimana berpolitik dan merawat partai yang sudah didirikan. Nasehat sang ayah diterima sehingga kondisi partai itu sampai sekarang, masalah internalnya, tidak pernah mengalami gejolak.
Fenomena seperti di atas dalam perpolitikan di Indonesia kerap terjadi bahkan dirawat. Yang terbaru adalah apa yang terjadi di tubuh PSI (Partai Solidaritas Indonesia).
Nasehat dari orangtua kepada anak agar salah satu di antara mereka mengalah, itu bagian dari upaya merawat keberadaan partai agar tetap utuh dan dikuasai keluarga. Bayangkan bila orangtua tidak menasehati anaknya, pasti partai yang ada bisa pecah. Perpecahan partai tentu akan membuat kebesarannya bisa mengecil.
Dan 'syukurnya', anak-anak mereka mau mendengar nasehat dari orangtuanya sehingga salah satu dari mereka rela mengalah. Bayangkan bila anak-anak itu tidak mau mengalah, pastinya kekacauan akan terjadi.
Meski mereka menyelenggarakan kongres atau pemilihan ketua umum namun putaran orang yang maju dalam pemilihan ketua umum, calonnya terbatas, di lingkaran trah tertentu, bahkan bisa dipilih langsung secara aklamasi. Setelah ibu/bapak, anak, dan selanjutnya cucu hingga seterusnya karena mereka akan selalu menasehati keturunannya bahwa ini partai adalah warisan keluarga.