Sementara Kamu, Kita, Dia, dan Sapa, hanya terpaku melihat perahu yang berpapasan dengannya . Aku mencoba bertanya lagi apakah Pulau Kehidupan sudah dekat. Pendayung yang duduk di depan dengan nada datar mengatakan, "dekat bagi empat orang". Mendapat jawaban yang demikian, membuat Aku, Kamu, Kita, Sapa, dan Dia menjadi bingung dan gemetar. Apa makna yang dikatakan oleh pendayung itu.
"Mari saya pamit", ujar pendayung dengan menatap tajam. Perahu itu mulai menjauh, saat itu juga muka perempuan yang duduk di antara pendayung kain putihnya tersingkap. Astaga, Aku, Kamu, Kita, Dia, dan Sapa, terperanjat sebab wajah perempuan yang ada berwajah Jika. Seketika, Kamu dan Kita berpelukan ketakutan, Aku dan Dia berusaha menahan diri namun Sapa terlihat histeris, ia ingin segera meloncat ke perahu yang ada perempuan berwajah kekasihnya itu. Aku dan Dia ingin menahan Sapa namun rupanya ia lebih dahulu melompat. Suasana pun menjadi misteri, perahu itu menghilang berubah menjadi pusaran air yang mematikan. Sapa yang sudah melompat tertelan pusaran air yang menarik siapa saja yang berada di lingkarannya ke dalam samudera.
Aku, Kamu, Kita, dan Dia sadar bahwa mereka telah bertemu dengan makhluk lain di tengah samudera seperti yang diceritakan oleh nenek moyang bahwa akan menggoda, mengelabui, dan membohongi, orang-orang yang melintas. Tahu Sapa telah menjadi korban dari perjalanan menghindar wabah dusta, Aku dan Dia merapal doa. Sedang Kamu dan Kita masih terlihat ketakutan dan kengerian.
Perjalanan mereka lanjutkan. Waktu demi waktu, keempat orang itu berusaha untuk mampu bertahan hingga Pulau Kehidupan. Mereka ingin segera tiba di sana untuk memulai hidup baru, bebas dari wabah dusta.