Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Salah Ketik, Salah Omong, Salah Ucap

19 Februari 2020   10:05 Diperbarui: 19 Februari 2020   10:04 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saat ini sepertinya kita sering mendengar orang mengatakan, "salah ketik", "salah ngomong", "salah ucap", dan salah-salah yang lainnya. Entah mengapa mereka bisa melakukan 'perbuatan yang salah' meski kalau dilihat dari tingkat pendidikan mereka terbilang sangat tinggi, mulai dari jenjang sarjana hingga doctor dan professor. Serta kalau dilihat dari pengalaman di birokrat dan dunia akademisi, mereka sudah sangat mumpuni.

Menjadi pertanyaan, benarkah mereka melakukan kesalahan yang demikian padahal seperti ditulis di atas mereka sudah sangat berpengalaman dalam dunianya. Perlu kita selusuri dan cermati dengan seksama apa yang sesungguhnya terjadi. Suatu kebijakan tentu dibuat dengan lebih dahulu dibahas dan didiskusikan oleh tim pembuat kebijakan. Kebijakan dibuat tentu mempunyai kepentingan dan muatan-muatan tertentu.

Dalam negara demokrasi, suatu kebijakan dibuat secara bersama, terutama oleh legislatif dan eksekutif. Ini dilakukan agar kebijakan yang dibuat bisa transfaran, adil, demokratis, untuk kepentingan bersama bukan kepentingan satu kekuasaan serta mempunyai jangka keberlakuan yang panjang. 

Proses membuat kebijakan tentu memerlukan waktu, perlu riset, dengar pendapat dari masyarakat dan ahli, serta menjaring aspirasi dari berbagai kelompok dan golongan. 

Hal demikianlah yang terkadang membuat satu kebijakan memerlukan waktu yang lama. Waktu yang lama bukan karena untuk mengolor waktu, meski factor yang demikian terkadang juga ada, namun dilakukan agar kebijakan yang ada bisa sempurna, tidak bolong dikemudian hari.

Bila kebijakan itu hanya dibuat oleh satu kelompok, ditambah lagi dengan terburu-buru karena mengejar sesuatu, maka hasil kebijakan yang dibuat akan kedodoran di sana sini. Kebijakan yang dibuat akhirnya tidak sesuai dengan kaidah-kaidah hukum, yang adil bagi semua dan tidak memihak.

Sebab dibuat oleh satu kelompok maka aturan yang ada menjadi subjektif dan hanya menguntungkan golongannya. Sebab subjektif maka mereka merasa benar terhadap apa yang telah disusun. Nah ketika kebijakan itu dilepas ke masyarakat dan perlu mendapat respon dan persetujuan dari lembaga lainnya, rupanya kebijakan itu bolong di sana sini, menyalahi kaidah-kaidah hukum, serta bertabrakan dengan kebijakan mereka sendiri.

Mereka tidak sadar bahwa ini adalah era keterbukaan. Dalam era keterbukaan ada kelompok masyarakat cerdas, juga ada kebebasan orang untuk mengungkapkan pendapat lewat media sosial. 

Adanya kelompok masyarakat cerdas dan keterbukaan mengungkapkan pendapat lewat media sosial itu akhirnya mempermalukan pembuat kebijakan atas kekeliruan yang telah diperbuat. 

Agar malunya tidak kelihatan maka pembuat kebijakan mengeluarkan jurus, alasan, yang bisa dikatakan mengada-ada atau dibuat-buat, seperti "salah ketik", "salah omong", "salah ucap", dan salah-salah yang lainnya. Mereka tidak jantan dengan meminta maaf namun membuat alasan-alasan seperti itu.

Untuk itulah wahai para pejabat, bila ingin membuat kebijakan, lakukan secara transparan, ajak masyarakat dan lembaga lain untuk berdiskusi dan berkonsultasi agar hasil yang diputuskan adil dan tidak menguntungkan pada satu kelompok dan golongannya sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun