Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Memindahkan "Kepadatan" Ibu Kota

13 Mei 2019   08:56 Diperbarui: 14 Mei 2019   14:19 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Ibu Kota Jakarta. (Thinkstock)

Memindahkan ibu kota bisa dilakukan dalam waktu yang singkat bila hanya ditinjau dari segi fisik, yakni pembangunan kantor pemerintahan, legislatif, dan yudikatif. Namun memindahkan ibu kota pastinya tidak hanya membangun segi fisik. 

Migrasi jutaan tenaga administrasi presiden, legislatif, dan yudikatif pasti akan mengikuti ke mana ibu kota berpindah. Nah di sinilah masalah itu akan muncul. Bila suatu daerah yang dipilih awalnya adalah daerah yang kosong, lengang, dan hijau, begitu mereka kedatangan jutaan penduduk, masalah baru lamban laun akan muncul.

Memindahkan ibu kota tidak hanya menimbulkan masalah dalam hal kependudukan namun juga akan membuat ibu kota baru berwajah ibu kota sebelumnya, yakni kemacetan, polusi, banjir, dan masalah kriminal. Kepindahan ibu kota pastinya akan diboncengi oleh pelaku dunia usaha dan jasa. 

Dunia usaha dan jasa melihat ada peluang baru di ibu kota pindahan sebab di sana berjibun penduduk yang membutuhkan layanan kehidupan. Dengan demikian, kepindahan ibu kota akan dibarengi dengan kepindahan mall, tempat hiburan, hotel, apartemen, dan lain sebagainya. 

Bila semua mengumpul kembali pada tempat yang baru maka keinginan untuk membebaskan ibu kota dari kemacetan, polusi, dan ancaman banjir tidak akan tercapai.

Bila kita menyimak pemindahan ibu kota-ibu kota di negara lain seperti Rusia, Australia, Inggris, mereka memindahkan ibu kota pada tahun 1712, 1927, dan 1066. Pada masa itu tentu masalah yang dihadapi oleh mereka tidak serumit saat ini, misalnya jumlah penduduk belum padat sehingga tidak menjadi beban. 

Nah bila saat ini, memindahkan ibu kota dengan ragam masalah yang komplek, rumit, dan saling terkait, pastinya akan menimbulkan masalah baru. Tidak hanya di tempat yang lama namun juga di tempat yang anyar. 

Untuk mengurai kemacetan dan kepadatan penduduk yang disebut sebagai beban Jakarta, sebenarnya pemerintah pusat, pemerintah Jakarta, dan pemerintah daerah di sekitarnya terus mengimbangi masalah yang ada dengan terus melakukan pembangunan. Lihat saja bagaimana Bandar Udara Soekarno-Hatta, ada 3 terminal, Terminal I, Terminal II, dan Terminal III. 

Pastinya pembangunan terminal itu untuk lebih meningkatkan fasilitas pelayanan di tengah semakin massifnya geliat perekonomi dan migrasi warga. Bila ibu kota dipindah, pastinya aktivitas di Soekarno-Hatta menjadi berkurang, akibatnya terminal-terminal yang ada menjadi sepi sehingga berujung bangunan yang ada tidak dipakai. Bila demikian mengapa terminal-terminal baru dibangun dengan dana miliaran bila selanjutnya ditinggalkan.

Agar problem kepindahan ibu kota tidak menimbulkan masalah baru, perlu dilakukan langkah-langkah lebih efisen. Caranya? Memaksimalkan Kota Jakarta yang sudah dibangun semakin canggih, modern, dan tertib. Bila kita memindahkan ibu kota, kita bisa meniru langkah yang dilakukan oleh Malaysia. 

Malaysia tidak memindahkan Kuala Lumpur, dengan alasan padat dan macet ke Kuching, Sarawak, yang berada di posisi tengah negara itu namun cukup dipindah di kawasan Putrajaya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun