Mohon tunggu...
Arditha Mauluddin
Arditha Mauluddin Mohon Tunggu... Quality Control -

Salah satu Alumni Universitas Brawijaya, dan sempat duduk manis di dunia Pers Mahasiswa hingga akhirnya menjadi buruh Perusahaan Perikanan di Kawasan Indonesia Timur (sebentar saja)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Upacara Bendera, Momen Sakral yang Begitu Mereka Nantikan

2 Mei 2016   15:17 Diperbarui: 2 Mei 2016   17:39 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hari ini, 2 Mei 2016 Bangsa Indonesia memperingatinya sebagai Hari Pendidikan Nasional. Hal yang paling identik dengan peringatan Hardiknas dari tahun ke tahun di Sekolah baik TK, SD, SMP maupun SMA, bahkan Universitas yakni upacara bendera. Tak ada bedanya dengan upacara bendera tiap senin pagi hanya saja, tema pidato atau “amanat Pembina upacara”nya berbau seputar nasib pendidikan di Indonesia saat ini, mulai dari semangat gigih Ki Hajar Dewantoro dalam memajukan pendidikan Indonesia zaman kolonial dulu hingga fenomena corat-coret seragam sekolah saat kelulusan.

Menyoal tentang upacara bendera, saya yakin adalah hal yang sangat biasa bagi sebagian siswa di Indonesia bagian barat maupun tengah. Bahkan dari mereka ada yang sengaja sakit agar terhidar dari kewajiban mengikuti upacara bendera, yang mungkin menurut mereka adalah rutinitas yang begitu membosankan, ketika harus berdiri satu bahkan dua jam dalam keadaan diam ditambah dengan sengatan sinar matahari pagi yang mulai menyiksa kulit dan akan semakin tambah menyiksa tatkala pidato yang disampaikan oleh Pembina upacara tak kunjung usai.

Tanpa bermaksud untuk membeda-bedakan, tapi tanpa kita sadari ada sebagian siswa di pelosok timur Indonesia yang begitu semangat dalam mengikuti upacara bendera setiap senin, maupun setiap hari besar kenegaraan lainnya. Berdiri sejam dua jam bagi mereka sunggulah sebuah kebanggaan walaupun kaki tak bersepatu mereka tak bisa diam karena gigitan semut. Jangankan sengatan matahari pagi, matahari siang pun rela mereka nikmati demi melihat berkibarnya Sang Saka Merah Putih di ujung tiang tertinggi sekolah mereka.

Ketika siswa lainnya mencari berbagai alasan agar terhindar dari kewajiban upacara bendera, maka sebagian siswa di pelosok-pelosok timur Indonesia kebingungan mencari lokasi upacara bendera mereka, jangankan halaman untuk upacara bendera, meja dan kursi tempat mereka belajar saja tidak ada. Jangan bayangkan sekolah-sekolah di pelosok-pelosok timur Indonesia (tidak semua) seperti kebanyakan sekolah lainnya di Indonesia yang sudah tersedia lapangan atau halaman yang luas, di daerah-daerah terpencil di Indonesia timur sekolah hanyalah sebuah bangunan berdindingkan kayu, beralaskan tanah dan kadang-kadang juga tak berpintu. Dan mungkin saja bendera yang setiap upacara mereka kibarkan itu bukanlah sejatinya bendera, namun hanya sehalai kain putih dari seprai yang tidak terpakai dan sehelai kain warna merah dari sisa jahitan baju adat mereka. Sama halnya ketika saat pertama kali Merah Putih di kibarkan pada 17 Agustus 1945, Ibu Fatmawati mengumpulkannya dari kain-kain yang sudah terpakai dan dijahit sedemikian rupa hingga terciptalah Bendera Merah Putih tersebut.

Teringat dua bulan lalu, ketika saya dalam perjalanan menuju Pulau Penambulai, salah satu pulau di gugusan Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku. Saat itu ketika hampir sampai di daerah Benjina (daerah yang masih termasuk Kabupaten Kepulauan Aru) dari jauh terlihat Kapal dengan ukuran sekitar 20-30 GT yang baru saja meninggalkan pelabuhan kecil di daerah tersebut. Pikir saya itu adalah kapal nelayan setempat yang akan berangkat melaut, namun, semakin mendekat kapal tersebut bukanlah kapal yang akan berangkat melaut seperti pikiran saya sebelumnya, kapal tersebut memang kapal nelayan tetapi bukanlah pernemumpangkan ABK dengan segala alat tangkap ikannya, melainkan berpenumpangkan anak-anak SD, SMP dan SMA yang baru saja pulang sekolah.

Dari raut wajah mereka, tak tampak rasa capek atau lelah, bahkan ada yang terlihat bercanda di haluan kapal. Jika di daerah lain mesti menyebrangi sungai untuk sampai di sekolahnya, namun disini mereka harus menyebrangi lautan untuk tiba di sekolahnya. Saya yakin, jika niat menuntut ilmu mereka hanya setengah-setengah atau hanya di paksa oleh orang tua, mereka tak ada yang mau repot-repot naik kapal untuk sampai di sekolahnya.

Harapan saya untuk mereka siswa-siswa di pelosok-pelosok terpencil Indonesia di Hari Pendidikan Nasional ini, tekad, kegigihan serta harapan mereka selalu tertanam dalam batin, yang semakin hari semakin menumbuh. Saya yakin, mereka akan jauh lebih siap menghadapi tantangan karena sedari kecil mereka sudah terbiasa dengan tantangan. Sekarang tinggal menunggu perhatian pemerintah sebelum tanaman harapan mereka layu termakan waktu.

Selamat Hari Pendidikan Nasional wahai Ki Hajar Dewantara muda, mohon maafkan pemerintah yang tidak begitu memperhatikan kalian.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun