Kita hidup dalam masa di mana segala batas tradisional telah mengabur. Batasan antara privasi dan keterbukaaan, antara ruang pribadi dan ruang publik, antara yang nyata dan yang virtual, antara manusia dan mesin---semua ini semakin sulit diidentifikasi. Fenomena ini tidak hanya memengaruhi cara kita berinteraksi satu sama lain tetapi juga cara kita memahami diri sendiri. Pertanyaan "siapa saya?" kini memiliki dimensi baru yang tidak pernah dibayangkan oleh para filsuf identitas klasik seperti John Locke atau David Hume.
Argumen sentral yang ingin saya ajukan adalah bahwa paradoks identitas di era digital tidak lagi dapat dipahami melalui kerangka dualisme tradisional yang memisahkan pikiran dan tubuh, subjek dan objek, diri dan liyan. Kita membutuhkan pendekatan filosofis baru yang mampu menangkap fluiditas, multiplisitas, dan interkonektivitas identitas manusia dalam dunia yang semakin termediasi teknologi.
Krisis Identitas di Era Digital
Mari kita mulai dengan situasi yang mungkin terasa akrab. Setiap hari, kita menyajikan versi diri yang berbeda-beda di berbagai platform digital. Kita menampilkan profesionalisme di LinkedIn, berbagi momen bahagia di Instagram, mengekspresikan opini politik di Twitter, dan mungkin menunjukkan sisi lebih pribadi di grup WhatsApp keluarga. Tidak jarang, versi-versi diri ini tampak kontradiktif satu sama lain. Dalam satu platform kita bisa menjadi advokat kesetaraan gender yang vokal, sementara di platform lain kita mungkin memposting lelucon yang secara tidak sadar memperkuat stereotip gender.
Fragementasi identitas ini bukan hal baru sepenuhnya. Erving Goffman dalam karyanya "The Presentation of Self in Everyday Life" (1956) telah menunjukkan bahwa kita selalu melakukan "pengelolaan kesan" dalam interaksi sosial, menyesuaikan perilaku kita dengan konteks dan audiens. Yang baru adalah intensitas, skala, dan dampak dari fragmentasi ini di era digital.
Pertama, jejak digital kita bersifat permanen. Berbeda dengan interaksi tatap muka yang berlalu begitu saja, apa yang kita tulis, posting, atau bagikan di dunia digital dapat diarsipkan, diakses kembali, dan disebarluaskan bertahun-tahun kemudian. Kedua, audiens kita menjadi lebih beragam dan sering kali tidak terlihat. Kita tidak selalu tahu siapa yang membaca tweet atau melihat foto Instagram kita. Ketiga, algoritma media sosial mendorong kita untuk menjadi versi hiperbolis dari diri sendiri, memperkuat aspek-aspek identitas yang mendapatkan lebih banyak engagement---entah itu kemarahan, humor, atau kesempurnaan yang difabrikasi.
Akibatnya, kita mengalami apa yang mungkin dapat disebut sebagai "skizofrenia digital"---kondisi di mana diri kita terfragmentasi ke dalam berbagai persona online yang kadang saling bertentangan, namun semua mengklaim otentisitas. Pertanyaannya kemudian: apakah masih ada "diri sejati" di balik semua topeng digital ini?
Kritik terhadap Konsep Diri yang Esensialis
Filsafat Barat tradisional, terutama sejak Descartes, cenderung memandang diri (self) sebagai entitas yang koheren, stabil, dan memiliki esensi. Descartes melihat diri sebagai substansi berpikir yang terpisah dari tubuh dan dunia material. John Locke mengaitkan identitas personal dengan kontinuitas kesadaran dan memori. Immanuel Kant melihat diri transendental sebagai prasyarat bagi semua pengalaman.
Namun, pengalaman kita di era digital menunjukkan bahwa konsepsi esensialis tentang diri ini semakin sulit dipertahankan. Ketika kita berinteraksi dengan orang lain melalui avatar, nama samaran, atau profil yang hanya menunjukkan aspek selektif dari identitas kita, batasan antara "diri sejati" dan "diri virtual" menjadi kabur. Bahkan, dikotomi antara keduanya mungkin tidak lagi relevan.
Pernahkah kalian merasakan lebih bebas mengekspresikan pikiran atau perasaan tertentu di dunia maya daripada dalam interaksi tatap muka? Atau mungkin kalian merasa lebih "otentik" ketika menulis blog anonim dibandingkan ketika berbicara dengan kolega di kantor? Jika ya, pengalaman ini menantang asumsi bahwa ada hierarki otentisitas di mana interaksi "dunia nyata" selalu lebih otentik daripada interaksi digital.