Indonesia sering dipuji sebagai negara besar dengan kekayaan alam melimpah, budaya beragam, dan bonus demografi yang menjanjikan. Namun, di balik optimisme itu, ada berbagai masalah mendasar yang kerap luput dari perhatian serius pemerintah. Padahal, masalah-masalah ini bersifat "sunyi" namun perlahan-lahan menggerogoti kualitas hidup masyarakat.
Ironisnya, isu-isu tersebut sering kalah sorotan dibandingkan agenda politik, pembangunan infrastruktur berskala besar, atau polemik jangka pendek lainnya. Berikut adalah lima permasalahan mendasar yang perlu mendapat sorotan lebih luas.
1. Ketimpangan Akses Kesehatan
Meskipun Indonesia memiliki program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang digadang-gadang sebagai sistem asuransi terbesar di dunia dengan 252 juta peserta per 2024 (BPJS Kesehatan), kenyataannya akses layanan kesehatan belum merata.
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa rasio dokter di Indonesia masih 0,47 per 1.000 penduduk (2023), jauh di bawah standar WHO yaitu 1 per 1.000 penduduk. Kondisi lebih buruk terjadi di daerah terpencil seperti Papua, Maluku, atau Nusa Tenggara, di mana masyarakat harus menempuh perjalanan berjam-jam bahkan berhari-hari untuk mencapai fasilitas kesehatan dasar.
Di sisi lain, masalah malnutrisi dan stunting masih menghantui. Laporan UNICEF (2023) menyebut 1 dari 5 anak Indonesia mengalami stunting. Meski pemerintah mengklaim angka stunting turun, penanganan sering kali bersifat seremonial dan tidak menyentuh akar persoalan: kemiskinan, akses pangan sehat, serta pola asuh keluarga.
2. Kualitas Pendidikan yang Tidak Merata
Pendidikan masih menjadi jalan utama untuk memutus rantai kemiskinan, tetapi kualitasnya di Indonesia sangat timpang. Data dari World Bank (2022) menunjukkan learning poverty di Indonesia mencapai 53%, artinya lebih dari separuh anak usia 10 tahun tidak mampu membaca dan memahami teks sederhana.
Sementara itu, guru masih dihadapkan pada persoalan klasik: distribusi yang tidak merata, kesejahteraan rendah, hingga kurikulum yang berubah-ubah mengikuti dinamika politik. Daerah perkotaan cenderung memiliki fasilitas lebih lengkap, sementara di desa-desa banyak sekolah yang kekurangan tenaga pengajar dan sarana belajar.
Ironisnya, diskursus pendidikan di level pemerintahan sering berhenti pada isu ujian nasional, kurikulum baru, atau pembangunan gedung, padahal persoalan mendasar terletak pada kualitas pembelajaran dan kesenjangan akses.