3. Krisis Lingkungan yang Tidak Terlihat
Indonesia kerap diguncang isu lingkungan seperti kebakaran hutan, polusi udara, hingga banjir tahunan. Namun, ada krisis lingkungan lain yang lebih "sunyi" tetapi sangat mendasar: pencemaran air dan pengelolaan sampah.
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK, 2023), Indonesia menghasilkan 68,5 juta ton sampah per tahun, dan hanya 7,5% yang berhasil didaur ulang. Sisanya berakhir di TPA atau mencemari sungai dan laut. Bahkan, Indonesia tercatat sebagai penyumbang sampah plastik laut terbesar kedua di dunia (Science, 2015).
Air bersih pun menjadi masalah serius. Badan Pusat Statistik (2022) melaporkan bahwa hanya 74,4% rumah tangga di Indonesia yang memiliki akses ke air minum layak, dan angka ini lebih rendah di wilayah timur Indonesia. Padahal, tanpa akses air bersih, berbagai penyakit berbasis lingkungan mudah menyebar.
4. Kesenjangan Sosial dan Ekonomi
Ketimpangan sosial-ekonomi di Indonesia masih tinggi meskipun angka kemiskinan menurun. Data BPS (Maret 2024) menunjukkan tingkat kemiskinan berada di angka 9,03%, turun dari tahun-tahun sebelumnya. Namun, rasio gini---indikator kesenjangan---berada di 0,388, menandakan jurang kaya-miskin masih lebar.
Kondisi ini tercermin di berbagai aspek: akses pendidikan, kepemilikan tanah, hingga kesempatan kerja. Di perkotaan, generasi muda menghadapi fenomena upah stagnan sementara biaya hidup melonjak. Sedangkan di pedesaan, masyarakat masih banyak bergantung pada sektor informal dengan penghasilan minim dan tanpa jaminan sosial.
Kesenjangan ini berpotensi menimbulkan "frustrasi sosial" yang bisa meledak menjadi masalah politik. Namun, perhatian pemerintah sering lebih fokus pada pembangunan infrastruktur fisik ketimbang kebijakan redistribusi ekonomi yang lebih adil.
5. Kesehatan Mental yang Terabaikan
Masalah kesehatan mental masyarakat Indonesia kerap dipandang sebelah mata, meskipun dampaknya sudah sangat nyata. Data Riskesdas 2018 menyebut 9,8% penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas mengalami gangguan mental emosional, sementara 6,1% mengalami gangguan mental berat seperti skizofrenia. Angka ini bisa jadi lebih tinggi karena stigma membuat banyak kasus tidak tercatat.
Di kalangan remaja, isu kesehatan mental bahkan menjadi krisis serius. Survei UNICEF (2021) menunjukkan 1 dari 3 remaja Indonesia merasa depresi dan sebagian besar tidak tahu harus mencari bantuan ke mana. Ironisnya, jumlah psikolog klinis di Indonesia hanya sekitar 11 ribu orang (HIMPSI, 2023), dengan distribusi tidak merata---banyak terkonsentrasi di kota besar.