Bayangkan sebuah negeri yang subur, kaya akan sumber daya alam, dihuni oleh ratusan juta jiwa dengan bonus demografi yang luar biasa. Indonesia—negara dengan 275 juta penduduk (BPS, 2023), di mana lebih dari 65% adalah penduduk usia produktif—berpeluang menjadi kekuatan ekonomi dan sosial baru di dunia. Para ahli menyebutnya: Generasi Emas 2045, yaitu harapan besar bahwa 100 tahun Indonesia merdeka akan dirayakan dalam kemajuan dan kejayaan.
Namun, di balik impian itu, ada sebuah tanda tanya besar: apakah Generasi Emas Indonesia benar-benar akan menjadi kenyataan, atau hanya surga fatamorgana—indah dari jauh, tapi rapuh ketika didekati?
Bonus Demografi: Peluang Sekaligus Perangkap
Istilah bonus demografi mengacu pada kondisi ketika jumlah penduduk usia produktif (15–64 tahun) jauh lebih besar daripada usia non-produktif. Indonesia sedang berada di masa itu. Menurut Bappenas, puncak bonus demografi Indonesia diperkirakan terjadi antara tahun 2020–2035. Bila dikelola dengan benar, ini bisa menjadi mesin pertumbuhan ekonomi dan sosial luar biasa.
Namun, bonus ini bukan otomatis menghasilkan keberhasilan. Menurut ahli demografi dari Universitas Indonesia, Dr. Sonny Harry B. Harmadi, “Jika tidak disertai dengan kebijakan yang tepat dalam pendidikan, kesehatan, dan ketenagakerjaan, maka bonus demografi bisa berubah menjadi bencana demografi.”
Dan faktanya, saat ini indikator pembangunan manusia Indonesia masih belum merata dan belum sepenuhnya siap menyambut tantangan abad ke-21.
Pendidikan: Masih Jadi PR Besar
Pendidikan adalah pilar utama pembentuk generasi masa depan. Sayangnya, sistem pendidikan kita masih diliputi banyak persoalan. Berdasarkan data dari PISA (Programme for International Student Assessment) tahun 2022, skor Indonesia untuk membaca, matematika, dan sains masih berada di bawah rata-rata negara OECD.
Contohnya, skor matematika siswa Indonesia berada di peringkat 74 dari 81 negara. Artinya, banyak siswa kita yang bahkan kesulitan memahami konsep dasar matematika.
Tak hanya itu, kualitas guru, fasilitas sekolah, dan akses pendidikan juga masih timpang antara kota dan desa. Meski program Merdeka Belajar dicanangkan, tantangannya bukan hanya soal kurikulum, tetapi pembiasaan berpikir kritis, etika digital, serta kreativitas dalam pembelajaran.