Korupsi telah menjadi momok yang menghantui Indonesia sejak lama. Meski sering dianggap sebagai masalah kontemporer, akar korupsi di negeri ini ternyata telah menjalar sejak era Orde Baru, bahkan sebelum skandal besar di tubuh PT Pertamina dan PT Timah mencuat. Era Orde Baru (1966--1998) di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto sering disebut sebagai masa pembangunan ekonomi, namun di balik itu, korupsi merajalela dan menjadi sistem yang terinstitusionalisasi. Skandal-skandal korupsi besar pada masa itu tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga meninggalkan warisan budaya korupsi yang masih terasa hingga kini.
Korupsi di Era Orde Baru: Sistem yang Terinstitusionalisasi
Menurut teori state capture yang dikemukakan oleh Hellman, Jones, dan Kaufmann (2000), korupsi tidak hanya dilakukan oleh individu, tetapi juga melibatkan sistem yang memungkinkan para elit untuk menguasai sumber daya negara demi kepentingan pribadi. Di era Orde Baru, korupsi menjadi bagian dari sistem pemerintahan. Soeharto, yang berkuasa selama 32 tahun, menciptakan struktur kekuasaan yang memusat, di mana keluarga, kerabat, dan kroni dekatnya menguasai sektor-sektor strategis ekonomi Indonesia.
Salah satu skandal korupsi terbesar pada masa itu adalah kasus Korupsi Bulog dan Dana Yayasan yang melibatkan mantan Presiden Soeharto sendiri. Pada tahun 1999, setelah jatuhnya Orde Baru, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) menemukan bahwa Soeharto diduga telah mengalirkan dana dari Badan Urusan Logistik (Bulog) dan berbagai yayasan yang dikelolanya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Nilai kerugian negara diperkirakan mencapai triliunan rupiah.
Skandal Korupsi di PT Pertamina: Cermin Kekuasaan yang Korup
Meski skandal korupsi di PT Pertamina baru mencuat pada era reformasi, akar masalahnya sebenarnya sudah ada sejak era Orde Baru. PT Pertamina, sebagai perusahaan minyak dan gas milik negara, menjadi salah satu sumber pendapatan utama pemerintah. Namun, pada masa Orde Baru, perusahaan ini juga menjadi sarana korupsi bagi para elit.
Pada tahun 1975, skandal korupsi besar di Pertamina terungkap, yang dikenal sebagai Skandal Ibnu Sutowo. Ibnu Sutowo, yang saat itu menjabat sebagai Direktur Utama Pertamina, diduga melakukan penyimpangan keuangan dengan menggelapkan dana perusahaan untuk proyek-proyek yang tidak terkait dengan operasional Pertamina. Akibatnya, perusahaan ini menanggung utang sebesar USD 10,5 miliar, yang hampir membuat Indonesia bangkrut. Skandal ini menjadi bukti nyata bagaimana korupsi telah merusak institusi negara.
PT Timah dan Eksploitasi Sumber Daya Alam
Selain Pertamina, PT Timah juga menjadi contoh lain bagaimana korupsi merugikan negara. Pada era Orde Baru, PT Timah, yang mengelola tambang timah terbesar di Indonesia, menjadi sasaran korupsi oleh para pejabat dan kroni penguasa. Eksploitasi sumber daya alam yang seharusnya menjadi tulang punggung perekonomian negara justru dikorupsi untuk kepentingan segelintir orang.
Menurut data dari Transparency International Indonesia, korupsi di sektor pertambangan, termasuk PT Timah, telah menyebabkan kerugian negara mencapai puluhan triliun rupiah. Praktik korupsi ini tidak hanya merugikan secara finansial, tetapi juga merusak lingkungan dan mengabaikan hak-hak masyarakat lokal.