Mohon tunggu...
Ardiansyah Jasman
Ardiansyah Jasman Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Dewan Pembina Lembaga Kemahasiswaan Di Universitas Negeri Makassar....

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Dia Tak Pernah Ada

23 September 2011   17:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:41 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senja telah tiba. Sebentar lagi malam akan datang. Ini kebiasan yang paling sering aku lakukan saat merindukan Dia. Duduk sendiri di tanggul pantai Losari sambil mencicipi pisang epe buatan Daeng Tata, salah seorang pedagang yang terkenal dengan kelezatan pisang epenya. Sepintas aku terlihat seperti orang aneh. Hanya duduk sendiri ditemani sepiring pisang epe. Tidak seperti orang-orang di sampingku yang duduk bermesraan bersama pacarnya. Aku melirik. Timbul sebuah keirian yang harus aku sembunyikan kepada mereka-mereka yang berada di sini. Mataku lalu ku alihkan memandang sinar orange yang sebentar lagi akan lenyap digeser waktu.

Sampai sekarang aku belum mampu melupakannya. Dia betul-betul mengganggu kehidupanku hingga saat ini. Aku merasa disiksanya dengan sebuah cinta yang masih aku harapkan kembali. Aku sadar betul ini sebuah kebodohan yang sepantasnya tidak dilakukan seorang laki-laki. Mencintai seorang wanita yang tidak mencintaiku lagi. Memang sedikit terkesan lemah dan rapuh. Tapi rasanya aku tak sanggup menyembunyikan perasaan itu. Cintanya benar-benar menyiksaku.

Aku tersenyum. Memoriku mengingat kejadian itu lagi. Kejadian yang sudah dua tahun telah lewat. Tapi rasanya baru kemarin aku mengalaminya. Sebuah SMS yang ia kirimkan buatku menjadi teka-teki sampai saat ini. Aku kemudian mengambil 7610ku lalu membuka kembali my folder ponselku. Membaca sms yang Dia kirimkan buatku dulu.

Riel kamu kenapa sich!! Tadi malam aq nelpon kok kamu nggak angkat sich. Aku kemarin gak balas SMSmu karena gak ada pulsa. Trus masalah hubungan kita bagaimana klo kita jadi teman dulu dech. Soalnya aku belum bisa ngertiin kamu n kamu belum bisa ngertiin aku. Aku nggak mau hanya gara-gara masalah ini kita jadi bermusuhan. Bls”

Tidak ada yang lebih sakit dari ini. Dadaku terasa sesak seketika. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Mengapa Dia memutuskanku, padahal aku merasa tidak pernah berbuat salah padanya. Bahkan, aku selalu menuruti keinginannya, walau itu sangat berat buatku. Aku ingat betul saat Dia minta dijemput di Mal Panakukang dengan kawan-kawannya. Dengan rela aku pun meninggalkan final tesku saat itu, karena aku tidak mau sedikit pun mengecewakannya.

Kijang innovaku cepat ku parkir di pelataran, lalu berlari secepat mungkin menemuinya berharap aku tidak terlambat.

”Maaf! Aku terlambat,” ujarku tersengal-sengal.

”Tahu tidak? Aku sudah capek tunggu kamu di sini! Sekarang bawa barang-barangku ke mobil!”

Tanpa banyak tanya aku pun menjinjing barang-barangnya masuk ke bagasi Kijang innovaku.

Aku tidak tahu aku mau dibawa kemananya lagi. Sudah dua rumah kawannya yang aku singgahi. Dan itu sangat membosankan karena aku harus duduk diam sendiri menunggu sampai obrolannya selesai.

”Kita sekarang kemana lagi?” tanyaku tanpa memperlihatkan tampang jenuh.

”Ke rumahnya Wina.”

Aku melirik seiko di tangan kiriku. Sudah jam empat. Aku harus ke rumahnya Mamat, ada tugas kuliah yang harus aku kerjakan bersama temanku satu itu.

Tiba-tiba 7610ku ”bernyanyi” minta diangkat. Mamat mengcallingku. Aku melirik Dia yang berada di sampingku lalu dengan hati-hati aku menekan tombol yes.

”Halo..!”

”........”

”Kayaknya aku tidak bisa datang ke rumahmu, Do.” Aku melirik lagi.

”......”

”Maaf ya? Aku usahakan besok aku kasih contekan. Bagaimana?”

”.......”

”Iya aku janji.”

Aku tidak tahu lagi apa yang bisa aku katakan buat Edo. Sangat sulit meninggalkan Dia saat itu, kalau tidak mau dia marah padaku. Dan itu tidak boleh terjadi. Tidak boleh.

“Siapa?” tanyanya kepadaku curiga.

“Edo. Temanku di kampus,” Jawabku jujur.

Hari-hariku sangat melelahkan bersamanya dahulu. Tapi, aku sangat senang bisa dekat dengan Dia, meskipun itu sangat merepotkan. Aku sangat mencintainya.

Orang-orang di sampingku mulai membanjiri tanggul Pantai Losari. Bulatan orange sudah terlihat jelas di barat sana. Inilah yang dinanti-nanti warga kota Makassar. Sebuah kebesaran Allah SWT yang sepatutnya disyukuri, sama seperti cinta yang Allah tanamkan padaku dengannya, walau memerihkan hati aku harus bersyukur menerima pemberiannya.

Jiwaku terketuk saat pengamen Pantai Losari menyanyikan lagu “Tak bisakah” milik Band Peterpan. Aku tahu betul dari dulu Dia sangat menyukai band itu. Maka tidak heran, saat launching album Alexandria Menunggu Pagi duhulu dengan rela aku mengantri di Disctarra hanya untuk membelikannya kaset itu.

”Makasih Riel! Kamu memang pacarku yang baik.”

Sampai saat ini hanya ada kaset Peterpan yang ada di mobilku, tidak ada yang lain. Bahkan, sampai nada sambungku sekalipun dinyanyikan Band fenomenal itu. Lagu-lagu band itu akan mengingatkanku kembali dengan Dia. Kemana pun aku mengendarai Kijang innovaku hanya ada Album Alexandria Menunggu Pagi yang terdengar. Dan Seketika aku pun teringat dengannya. Sebuah cinta yang telah hilang.

Kini aku tidak tahu Dia sekarang ada di mana. Rumahnya di Kompleks Panakukang disita pemerintah kota karena kasus korupsi. Nomor ponselnya pun sudah tidak aktif lagi. Aku pernah berusaha mencari Dia di kampusnya. Namun, tak satupun kawannya yang tahu Dia pindah kemana.

Aku melahap pisang epeku yang tinggal sepotong. Sinar orange sudah tenggelam di makan laut. Tidak sengaja mataku menangkap sesosok tubuh dari keramaian orang banyak di sana. Tubuhnya sangat mirip dengan Dia. Aku lalu beranjak dari tanggul pantai dan mencoba menemui wanita itu. Aku memutar-mutar kepalaku mencarinya di tengah keramaian. Namun, medadak Dia hilang entah kemana.

Tidak beberapa lama wanita itu kembali aku lihat lagi memberiku senyuman. Sejenak aku memperhatikannya. Aku yakin sekali Dia adalah mantan pacarku yang telah memberiku sms ”luar biasa” yang membuatku bingung sampai saat ini mengapa Dia memutuskanku.

Masya Allah! Dia tiba-tiba kembali menghilang, padahal aku yakin betul Dia masih ada di situ. Aku terus mencari dan mencari hingga aku dikejutkan suara adzan masjid. Aku tersadar. Astagfirllah! Sekejap aku melupakan semuanya. Langkah kakiku cepat ke mushollah terdekat lalu segera ku basuh wajahku dengan air wudhu dan sholat menghadapmu Ya Allah.

©©©

Sebulan kemudian, aku kembali datang ke tanggul Pantai Losari. Tapi kali ini aku tidak sendiri. Aku bersama seorang wanita, wanita yang telah “menumbangkan” hatiku kembali. Kalau selama ini aku datang di tempat ini saat merindukan Dia, sekarang tidak lagi, pacar baruku ini sepertinya mengeser kedudukan Dia di hatiku. Walau tidak dapat ku pungkiri sisa sisa“perbuatannya” masih membekas di hatiku sampai saat ini. Tapi sudahlah, aku tidak mau mengingatnya lagi.

“Sayang, bisa minta tolong nggak?” tanya pacar baruku lembut.

”Bisa, katakan saja,” jawabku pasti.

”Besok rencananya aku mau ke Pantai Bira sama teman-teman kampusku. Boleh nggak aku pergi?”

”Boleh boleh saja,” jawabku tanpa ragu.

”Tapi...tapi...”

Ia mengenggam jemari tanganku lalu kepalanya ia sandarkan di bahuku.

”Tapi apa?”

”Tapi aku mau pinjam mobil kamu ke sana. Soalnya teman-temanku juga mau ikut.”

Aku menelan ludahku. Tidak mungkin aku meminjamkan Kijang Innovaku. Akivitasku sangat padat. Dan hanya mobil itu transportasi andalanku. Walau pun sebenarnya di rumah masih ada sepeda motor, tapi aku tidak bisa mengendarainya. Jadi, sepertinya tidak mungkin.

”Bagaimana ya?” aku sedikit sungkan menolaknya. Aku sangat takut kalau pacar baruku ini memarahiku.

”Boleh ya?” rengeknya.

Aku tidak berdaya. Aku tidak tahan dengan situasi seperti ini. Aku pun dengan ikhlas memberikan Kijang innovaku dibawanya ke Pantai Bira.

©©©

Aku tidak tahu apa yang terjadi di kehidupanku, semuanya selalu berakhir buruk. Kalau bukan karena ayahku punya kerabat pejabat kepolisian di Polda Sulsel, mungkin aku tidak akan mengandarai Kijang Innovaku lagi. Hampir saja mobil kesayanganku itu raip dibawa pergi pacar baruku itu.

”Apa yang salah pada diriku Tuhan?” ujarku pada hati yang paling dalam saat ku duduk di pantai Losari saat ini. Aku bingung.

Tiba-tiba pikiranku bergeser memikirkan Dia lagi. Dia yang tak pernah ku ingat-ingat lagi selama ini, mendadak wajahnya melintas di benakku. Cinta itu datang lagi menyiksaku. Membuka album lama yang seharusnya aku sudah tutup sejak dulu. Suatu kenyataan pahit yang harus ku terima bahwa Dia memutuskanku dengan ”sadis”.

Aku tidak tahu mengapa harus Dia. Padahal, masih banyak mantan-mantan pacarku yang lebih baik dan cantik dari Dia. Wana, Dita, Liza, Amel, Lia, Risma, Icha dan pacar-pacarku yang lain yang sudah banyak aku lupa namanya kalau disandingkan dengan Dia sama sekali tak ada apa-apanya.

Jujur aku masih mencintainya sampai sekarang. Dan sepertinya cinta itu tak akan mudah hilang begitu saja. Cinta itu sudah tumbuh dan berakar di lahan hatiku yang paling dalam dan aku sangat yakin tak akan ada cinta yang dapat menumbangkannya. Aku yakin itu.

©©©

Berita buruk. Malam ini ayahku akan memperkenalkan anak dari rekan bisnisnya dari Malaysia. Dan rencananya aku akan ditunangkannya dengan anak rekan bisnis ayahku itu. Tidak! Itu tidak boleh terjadi. Sekarang bukan zamannya siti nurbaya lagi. Tapi, segala kehendak ayahku tak seorang pun yang dapat menentangnya baik ibuku yang sudah meninggal 2 tahun lalu. Tidak ada. Sebuah demokrasi keluarga yang tidak pernah aku dapatkan dari dulu. Mau tidak mau kali ini aku harus menurut lagi, kalau tidak mau melihat ayahku murka.

Malam makin gelap. Sunset di Pantai Losari baru saja pergi meninggalkanku. Aku harus segera pulang. Tamu besar ayahku dari Malaysia akan datang malam ini ”mempromosikan” anaknya untuk menjadi istriku. Aku melirik Seiko di tangan kiriku sudah menunjuk pukul 20.00 Wita. Sepertinya aku sudah terlambat. Laju kijang innovaku pun ku percepat melewati jalan kota Makassar yang mulai padat malam ini.

”Assalamu alaikum!” aku masuk ke rumahku. Tak ada orang-orang aku lihat. Namun, sesaat ketika aku hendak naik ke kamarku di lantai dua. Pintu utama rumahku terbuka. Ayahku masuk dengan seorang pria seumurannya yang tampak berwibawa. Mataku mengalihkan pandangan pada seorang gadis berjilbab yang dibawa pria itu. Apa itu yang akan menjadi calon istriku?

”Ariel kenalkan! Ini Jannatul Nur fauziah. Anak rekan bisnis ayah di Malaysi,.” ujar ayahku memulai perkenalan.

Gadis itu menunduk malu. Saat ingin ku raih tangannya untuk berjabat, tanganku mengggantung di udara. Semantarakedua telapak tangannya ia satukan dan membentuk model seperti orang yang sedang bertapa lalu ia arahkan ke padaku. Astagfirllah! Aku hampir lupa, Ustadzt Azis pernah bilang sangat tidak baik bersentuhan dengan bukan muhrimnya.

Waktu terus bergulir, ayahku dan pria itu sudah pergi meninggalkanku berdua. Sudah hampir setengah jam aku duduk di sofa ini. Namun, aku belum juga melihatwajah gadis itu. Aku pun menjadi penasaran.

”Kuliah di mana?” tanyaku mencoba mencari celah.

“Kebangsaan University,” jawabnya lembut dengan dialek melayu yang kental.

Ini sangat membosankan. Gadis ini hanya bisa diam. Tak ada lagi kata yang aku ingin ucapkan. Rasanya tak ada bahan buat gadis satu ini. Aku pun tinggal diam mematung di sofa itu.

”Ayahku dan ayahmu sudah jodohkan kite bedua. Apakah kamu ikhlas menikahiku kelak?” tanya gadis itu tiba-tiba sembari menghadapkan pandangannya ke arahku.

Aku melihat wajahnya. Astagfirlah! Ini tidak mungkin. Gadis ini mirip sekali dengan Dia. Wanita yang aku sangat cintai sampai saat ini, wanita yang telah menghilang entah kemana dan wanita yang telah memutuskan cintaku dua tahun lalu. Sulit ku percaya.

”Mitha!?!?”aku memeriksanya dengan seksama. Aku sangat yakin dokter belum pernah mendiagnosamataku terkena katarak. Dialah wanita yang aku cari-cari selama ini, wanita yang selalu menyiksaku dengan sebuah cinta yang aku masih harapkan kembali.

”Aku ikhlas, sangat ikhlas,” jawabku mantap.

©©©

Setahun kemudian, Pantai Losari makin ramai didatangi orang-orang. Sampah-sampah juga makin ramai membentuk sebuah peradaban baru di bibir-bibir pantai. Tak ada yang meliriknya untuk diangkut ke tempat yang layak. Sampah-sampah itu dibiarkan berbaris begitu saja mengotori icon kota Makassar tersebut.

Tidak terasa sudah setahun aku ditunangkan dengan Jannah, wanita pilihan ayahku. Dan besok adalah hari pernikahanku. Hari dimana aku memulai kehidupan baruku. Tapi, yang menjadi teka-teki bagiku sampai saat ini adalah tentang kemiripannya dengan Dia. Saat ku tanya, Jannah tidak pernah mengaku kalau Dia adalah wanita yang aku maksud. Padahal aku yakin sekali Jannah itu adalah Dia, cinta lamaku yang sulit aku lupakan.

Aku tidak tahu ingin berbuat apa lagi, semua cara telah aku coba. Besok duniaku akan berubah. Sebuah lembaran cerita baru akan aku buka dan jalani bersama Jannah. Itu berarti aku harus bisa melupakan dia. Harus!

Hari ini ku ikrarkan diriku untuk melupakannya. Dia hanyalah masa lalu yang telah hilang dan tak tahu kapan kembalinya. Ku lirik setumpuk kaset dan CD Peterpan di sampingku yang selalu mengingatkanku dengannya. Dan dengan ikhlas aku menaburkannya satu persatu ke lautan, berharap laut menghanyutkan kenangan itu sejauh-jauhnya.

Kini saatnya ku geser namanya dalam palung hatiku dan menempatkan si gadis manisku, Jannah sebagai pelita hatiku yang akan menerangi jiwaku sampai hembusan nafas terakhirku.

Jannah tiba-tiba menghampiriku dengan sebuah ucapan salam yang lirih.

“Assalamu alaikum!”.

Aku menoleh.

”Sudah magrib, yuk kita sholat!”

Aku memandang wajahnya yang teduh. Aku berjanji akan menyayangi Jannah seperti aku menyanyangi Dia setulus hatiku. Insya Allah.

©©©

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun