Berdasarkan KBBI stereotip berarti konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka subjektif dan tidak tepat. Ingat, subjektif dan tidak tepat.
Pembahasan mengenai stereotip gender tidak bisa terlepas dari fenomena sejarah puluhan tahun silam, meski kaitannya mungkin sangat sedikit.
Yaitu budaya patriarki yang secara umum menyebutkan laki-laki adalah pemimpin. Memang, dalam konteks patriarki perempuanlah yang dirugikan. Karena di bidang sosial, politik, pendidikan, dan ekonomi perannya cenderung dinomerduakan Tapi, jika kita mau melihat lebih rinci lagi. Konsepsi "laki-laki adalah pemimpin" secara tidak langsung telah memberi beban psikologi bagi laki-laki yang kemudian memunculkan pendapat-pendapat subjektif dari konsep "pemimpin" itu sendiri.
"Jadi cowok harus kuat!"
"Jadi cowok gak boleh nangis!"
"Kok nangis sih? Kayak anak cewek aja!"
Kurang lebih kalimat-kalimat klise itu sudah sering kita jumpai di sekitar. Bahkan mungkin sejak kecil. Saat anak cowok terjatuh maka ibunya bilang, "Cup, cup, cup gak papa, gak usah nangis!" Saat anak cowok terjungkal dari kursi, "Udah, udah gak boleh nagis, kodoknya udah lari." Sebenarnya bukan masalah kodok lari. Toh yang membuatnya terjungkal bukan kodok. Yang jadi masalah adalah persepsi dari kalimat "Gak boleh nangis"
 Sebagaimana persepsi adalah tindakan menyusun, mengenali, dan menafsirkan informasi sensoris guna memberikan gambaran dan pemahaman tentang lingkungan (Daniel (2011). Maka ternyata stereotip yang dibawa oleh ibu atau lingkungan terdekat dari si anak laki-laki itu berlanjut pada pembentukan persepsi dalam dirinya sendiri. Yang kemudian terbawa hingga dia dewasa. Alhasil setiap menemui masalah, galau, suntuk, atau, kesal dengan sesuatu ia lebih canggung untuk menangis dan mengeskspresikan emosinya. Jadi kurang lebih, "Aduh cengeng banget sih gue jadi cowok!"
Padahal seperti dalam lagu "Bukan Superman" yang dipopulerkan Lucky Laki
       Aku bukannlah superman
      Aku juga bisa nangis