Mohon tunggu...
Astriana
Astriana Mohon Tunggu... Freelancer - Pengarang

Review, sastra, diktat kuliah, mental health

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Stereotip Gender-Cowok Gak Boleh Nangis?

2 April 2021   21:37 Diperbarui: 2 April 2021   21:46 1553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Berdasarkan KBBI stereotip berarti konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka subjektif dan tidak tepat. Ingat, subjektif dan tidak tepat.

Pembahasan mengenai stereotip gender tidak bisa terlepas dari fenomena sejarah puluhan tahun silam, meski kaitannya mungkin sangat sedikit.

Yaitu budaya patriarki yang secara umum menyebutkan laki-laki adalah pemimpin. Memang, dalam konteks patriarki perempuanlah yang dirugikan. Karena di bidang sosial, politik, pendidikan, dan ekonomi perannya cenderung dinomerduakan Tapi, jika kita mau melihat lebih rinci lagi. Konsepsi "laki-laki adalah pemimpin" secara tidak langsung telah memberi beban psikologi bagi laki-laki yang kemudian memunculkan pendapat-pendapat subjektif dari konsep "pemimpin" itu sendiri.

"Jadi cowok harus kuat!"

"Jadi cowok gak boleh nangis!"

"Kok nangis sih? Kayak anak cewek aja!"

Kurang lebih kalimat-kalimat klise itu sudah sering kita jumpai di sekitar. Bahkan mungkin sejak kecil. Saat anak cowok terjatuh maka ibunya bilang, "Cup, cup, cup gak papa, gak usah nangis!" Saat anak cowok terjungkal dari kursi, "Udah, udah gak boleh nagis, kodoknya udah lari." Sebenarnya bukan masalah kodok lari. Toh yang membuatnya terjungkal bukan kodok. Yang jadi masalah adalah persepsi dari kalimat "Gak boleh nangis"

 Sebagaimana persepsi adalah tindakan menyusun, mengenali, dan menafsirkan informasi sensoris guna memberikan gambaran dan pemahaman tentang lingkungan (Daniel (2011). Maka ternyata stereotip yang dibawa oleh ibu atau lingkungan terdekat dari si anak laki-laki itu berlanjut pada pembentukan persepsi dalam dirinya sendiri. Yang kemudian terbawa hingga dia dewasa. Alhasil setiap menemui masalah, galau, suntuk, atau, kesal dengan sesuatu ia lebih canggung untuk menangis dan mengeskspresikan emosinya. Jadi kurang lebih, "Aduh cengeng banget sih gue jadi cowok!"

Padahal seperti dalam lagu "Bukan Superman" yang dipopulerkan Lucky Laki

            Aku bukannlah superman

            Aku juga bisa nangis

            Jika kekasih hatiku

            Pergi meninggalkan aku

Silahkan menyanyikannya sendiri sebagai refleksi kamu. Tapi sebelum itu mari kita lanjut.

Menurut Brizendine laki-laki memang lebih pelit menangis karena secara biologis mereka memiliki hormon testosteron yang lebih tinggi sehingga lebih kuat menahan tangis; memiliki saluran air mata yang lebih besar sehingga air mata tidak gampang jatuh; dan yang terakhir karena adanya perbedaan pada sel-sel kelenjar air mata.

Selain itu laki-laki juga lebih mengutamakan logika dibanding dengan perempuan yang mengedepankan hati. Maka bisa dikatakan mereka akan lebih tegar saat menemui masalah. Namun jika dalam keadaan sulit seperti gagal bisnis, tidak lolos seleksi, diputusin pacar, gagal nikah, ditipu orang ratusan juta, atau apalah terserah yang kira-kira sangat mengecewakan dan kesedihan itu membuat kamu (laki-laki) ingin menangis atau bercerita. Ya lakukan saja, itu hal wajar dalam mengkespresikan emosi. Dan lebih baik daripada menyalurkan kesedihan itu dengan mencekik mantan kamu, menyebar teror ke rekan bisnis, atau mengkonsumsi narkoba.

Tidak mudah menghapus stereotip yang telah melekat sangat lama seperti itu. Tapi kita masih bisa memulai perubahan diawali dari diri sendiri terlebih dahulu. Tanpa menghapus hakikat tanggung jawab yang diembankan kepada laki-laki. Kesedihan atau dalam hal ini menangis untuk beberapa kesempatan saya pikir malah menjadi kebutuhan. Baik oleh laki-laki atau perempuan sebenarnya.

Well, menangis bukan berarti lemah. Menangis adalah bahasa emosional yang bisa mencegah laki-laki dari depresi, pelecehan seksual, atau gila akut. Tidak adil jika kemudian lelaki yang menangis dikatakan lemah. Menangis juga tidak serta merta mengubah kamu (laki-laki) menjadi banci. Lagi pula tidak ada hukum di negara ini yang secara mutlak melarang laki-laki menangis. Bahkan mungkin diluar pengetahuan kita para wakil rakyat (yang laki-laki) pun pernah menangisi ketika gagal pemilu atau tidak mendapat kursi di senayan. Intinya tidak ada yang salah dengan menangis. Adalah hal yang wajar dan sangat normal untuk mengekspresikan kesedihan. Jadi yang ingin saya tekankan disini bukan cuma tentang laki-laki itu juga boleh nangis. Tapi yang tak kalah penting adalah menangis bisa menjadi follow up yang lebih baik ketika kamu (laki-laki) mempunyai masalah. Menangis kepada teman atau menangis sambil berdoa kepada Tuhan, itu akan menjadi alternative yang lebih menenagkan perasaan. Dibanding melampiaskannya pada hal-hal yang akhirnya merugikan diri sendiri. Lebih-lebih merugikan orang lain juga.

Sekian, terimakasih.

Referensi:

  • Yulianti Iswandiari. 2020. "Alasan Psikologis Mengapa Pria Lebih Sulit Menangis Dibanding Wanita. https://hellosehat.com/pria/penyakit-pria/mengapa-pria-sulit-menangis/ (diakses pada 2 April 2021
  • Hermawanti, Tanti. 2007. Budaya Jawa dan Kesetaraan Gender. Jurnal Komunikasi Massa. Vol. 1, No. 1.
  • Sakina, Ade Irma. Siti A, Dessy Hasanah. Menyoroti Budaya Patriarki di Indonesia. 118SHARE: SOCIAL WORK JURNAL. Vol. 7. No 1.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun