Mohon tunggu...
ardhani prameswari
ardhani prameswari Mohon Tunggu... Guru - guru

seorang yang sangat menyukai photography

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sekolah dan Perspektif yang Salah

1 Agustus 2022   16:36 Diperbarui: 1 Agustus 2022   23:58 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang teman bercerita kepada saya soal sekolah anaknya dan pernah perniknya. Kebetulan sang anak sekolah sekolah menengah pertama negeri dekat rumahnya. 

Mereka berasal dari kaum menengah, santri tapi terbiasa dengan pola pikir egaliter. Buktinya, sebelumnya, anaknya ini bersekolah di sebuah sekolah dasar katolik -- sebuah sekolah swasta terbaik di kota kami.

Ternyata anaknya terlibat perbantahan dengan sang guru tentang sesuatu. Sang anak sebenarnya tidak bermaksud melakukan bantahan, tapi sekadar bertanya terhadap pernyataan guru. 

Ternyata pertanyaannya itu membuat sang guru tidak senang ditambah sang anak memberikan pernyataan yang bertentangan dengan sang guru sesuai dengan logika sang anak.

Di rumah, ternyata mereka terbiasa dengan diskusi secara terbuka. Semua anggota keluarga saling belajar menyampaikan pendapat secara terbuka sesuai dengan jalan pikirannya. 

Sang ayah mendengarkan pendapat anak, sang anak juga menghargai pendapat ibunya . Begitu setiap kali jika mereka membicarakan sesuatu.

Kebiasaan ini ternyata terbawa ke sekolah baru dan akhirnya terjadi perbantahan seperti di atas. Akhirnya sang ayah -- teman sayaitu- dipanggil ke sekolah oleh guru BP. 

Di sana terjadi perbincangan menyangkut sang anak dan di ujung pembicaraan, sang guru BP menyarankan agar sang ayah memukul sang anak agar bisa tertib dan tidak sering melakukan perbantahan dengan orang lain.  Guru BP rupanya tidak percaya dengan cara didik egaliter yang dia terapkan di rumah.

Singkat kata, teman saya itu kaget. Karena tidak menyangka bahwa sekolah negeri yang bisa dibilang cukup mentereng di kota kami masih mengandalkan Pendidikan dengan citarasa fasistik yang memuja kekerasan, ketertiban dan menjadikan kekerasan sebagai solusi bagi penertiban dan ketertiban. 

Sekolah lebih percaya bahwa jalan kekerasan lebih baik dari jalan cinta kasih. Sehingga tak heran jika sepuluh atau lima belas tahun lagi para murid yang bersekolah di sana akan bermental fasis, rasis dan anti keragaman yang lebih memilih kekerasan ketimbang perdebatan yang saling menghargai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun