Mohon tunggu...
ardhani prameswari
ardhani prameswari Mohon Tunggu... Guru - guru

seorang yang sangat menyukai photography

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Saatnya Memupuk Solidaritas Virtual Tanpa Kebencian

24 Mei 2018   07:26 Diperbarui: 24 Mei 2018   08:19 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media Sosial - digitalmediabutterfly.com

Perkembangan dunia maya memang berkembang begitu pesat. Perkembangan media sosial juga terus memberi ruang setiap netizen, untuk berekspresi dan menyampaikan pendapatnya. Ya, media sosial telah berkembang menjadi tempat yang paling banyak diiisi oleh generasi muda dan generasi tua. Mereka saling interaksi, bertukar pikiran dan mencari teman. Wajar jika media sosial selalu mendapatkan tempat yang menyenangkan bagi generasi milenial. 

Namun dalam perkembangannya, media yang awalnya menyenangkan dan memberikan kontribusi positif ini, mulai disalahgunakan oleh sebagian orang. Media sosial tidak hanya menjadi tempat berinteraksi, tapi juga menjadi tempat saling mencaci. Dan praktek itu masih terjadi hingga saat ini.

Dampak yang muncul akibat praktek saling caci maki ini, membuat kerukunan dan toleransi di negeri ini kian menyusut. Keberagaman menjadi hal yang tabu. Berbeda pendapat dan pandangan, bisa berujung pada persekusi. 

Apalagi perbedaan keyakinan, bisa berujung pada aksi intoleran dan teror. Kemunculan perilaku intoleran dan radikal ini, tak bisa dilepaskan dari masifnya propaganda radikalisme di dunia maya. Mereka seringkali memunculkan pesan kebencian, mengajak orang lain untuk berjihad dengan cara-cara yang salah. Dan yang terjadi, mati bunuh diri dengan meledakkan diri, menjadi tren yang terus dilakukan oleh kelompok radikal ini.

Banyak yang tidak menyangka, bagaimana bisa media sosial bisa dijadikan media untuk menyebarkan indoktrinasi. Juga tidak ada yang menyangka banyak orang yang bisa terpapar radikalisme melalui dunia maya. Tidak sedikit para pelaku teror mengaku mengenal bibit radikalisme dari dunia maya. Bahkan, cara-cara perakitan bom pun juga mereka dapatkan melalui dunia maya. Provokasi dan penyebaran bibit radikal di dunia maya, menjadi kekhawatiran tersendiri bagi semua pihak.

Ketika terjadi ledakan bom, semua orang berseru menyatakan tidak takut melawan teror. Semua orang mengatakan terorisme adalah bentuk kejahatan kemanusiaan. Reaksi ini memberikan warna tersendiri, disaat sekian persen dunia maya dihiasi oleh ujaran kebencian. 

Setelah terjadi aksi teror, solidaritas dan persatuan mengemuka. Namun ketika jelang pemilihan kepala daerah, ujaran kebencian kembali menguat. Saling caci antar pendukung menjadi pemandangan yang sering terjadi. Tanpa disadari, provokasi kebencian ini membuat kerukunan yang terjalin memudar. Toleransi berubah menjadi intoleransi dan keramahan berubah menjadi amarah.

Untuk itulah, mari kita gunakan dunia maya sebagai dunia interaksi yang menyejukkan. Mari kita jadikan dunia maya sebagai ruang untuk saling berbagi, bukan ruang untuk saling menghakimi. Di era yang milenial seperti sekarang ini, seringkali kita lupa dan terlalu bebas di media sosial. 

Informasi hoax yang menyebar kadang dianggap sebagai kebenaran hanya karena kita enggan membekali diri dengan literasi media. Saatnya, memumupuk solidaritas di dunia maya, agar masyarakat juga bisa bersatu di era virtual ini. Kenapa bersatu dan bersolidaritas penting di dunia maya? Karena aktifitas masyarakat saat ini juga banyak di dunia maya. Jika kita bisa saling berbagi dan membantu di dunia maya, maka kedamaian dan kerukunan di dunia nyata akan tercipta.

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun