Mohon tunggu...
Ardhani Reswari
Ardhani Reswari Mohon Tunggu... karyawan swasta -

just smile!

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sebuah Gelar: Ardhanariwari (Nareswari)

20 September 2012   05:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:11 5091
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Resensi

Gelar itu. Ya, karena gelar Ardhanariwari itu yang mirip dengan namaku maka kubeli buku berjudul Ken Dedes ini. Bukan buku baru memang. Hanya ingin tahu saja, sekedar penasaran.

Buku berjudul “Ken Dedes Sang Penggoda” ini menceritakan kisah di zaman kerajaan Kediri dahulu kala. Terdapatlah di dalamnya nama-nama seperti Tunggul Ametung, Ken Arok, Ken Umang, Empu Gandring dan yang lainnya. Kisahnya diawali dengan penceritaan tanah Jawa yang pada saat itu di bawah kepemimpinan Tunggul Ametung, Raja Tumapel. Sang Raja mulanya adalah seorang perampok yang bersekutu dengan raja Kediri, Sri kertajaya. Jadi, kerajaan Tumapel masih dibawah kekuasaan Raja Kediri. Namun sayang, sang Raja malah bertindak semena-mena. Kasta Ksatria yang otomatis diperolehnya setelah menjadi raja Tumapel, tak menjadi jaminan ia bertindak adil pada rakyat.

Tunggul Ametung menarik pajak yang tinggi. Memperbudak sebagian rakyat di pendulangan emas “pribadi” nya demi memuaskan nafsu untuk memperkaya diri saja. Rakyat miskin tak pernah mendapat perhatian. Hasil bumi diambil paksa, yang akhirnya dipergunakan sebagai upeti untuk dikirim rutin kepada raja Kediri. Yang lebih menyebalkan lagi, Raja dapat dengan semena-mena ‘mengambil’ perawan cantik jelita di desa manapun yang ia suka. Rakyat dan para orangtua tak dapat berbuat banyak kecuali menyerahkan anak gadisnya pada sang Raja. Nafsunya tak kunjung berhenti untuk mendapatkan gadis cantik, padahal selirnya sudah puluhan jumlahnya.

Hingga pada akhirnya terdapatlah sekelompok perampok seumpama Robin Hood. Merampok upeti dan kekayaan raja lalu dibagi-bagikan pada rakyat miskin. Tersebutlah di sana Temu. Perampok yang mempunyai kesaktian mumpuni melawan para prajurit kerajaan. Temu bersama para komplotannya tidak suka tindakan rajanya yang dzalim. Untuk itulah ia punya tujuan, membebaskan rakyat Tumapel dari cengkeraman raja lalim dan mengembalikan kesejahteraan yang telah menjadi hak rakyat.

Disaat yang bersamaan di sebuah desa terpencil, seorang gadis jelita bernama Ken Dedes, putri seorang brahmana (guru/cendikiawan) Empu Parwa. Ken Dedes karena kecerdasan ilmunya (disebut juga brahmani) keluhuran budinya, kesopanannya, dan kecantikannya ia bergelar Ardhanariwari/Nareswari. Arti dari gelar Ardhanariwari/Nareswari itu sendiri adalah seorang perempuan yang kelak melahirkan raja-raja di tanah Jawa. Namun tak banyak orang yang tahu jika Ken Dedes mempunyai gelar tersebut. Walaupun begitu, desas-desus kecantikan Ken Dedes telah menyebar luas hingga istana kerajaan Tumapel. Tunggul Ametung yang sedang mencari permaisuri tak menyia-nyiakan kesempatan. Hal itulah yang menyebabkan Ken Dedes diculik oleh Raja Tumapel.

Mengetahui putrinya diculik, Empu Parwa mengutuk Tunggul Ametung agar ia mati dibunuh dengan keris sakti. Pada saat penculikan itu terjadi, empu Parwa sedang mengajarkan ilmunya di desa sebelah. Empu Parwa memang tak bisa berbuat banyak melawan raja yang berkuasa saat itu. Namun ia yakin, akan ada seseorang yang dapat menyelamatkan anaknya kelak sekaligus menyelamatkan negerinya.

Di tempat lain, Temu sang perampok ternyata memiliki keistimewaan tersendiri. Ia ternyata adalah titisan Dewa Wishnu. Dengan kelebihan tersembunyi yang dimilikinya itu ia didatangi sang Dewa dan diperintahkan untuk berguru pada dua orang Brahmana. Ia mendapatkan amanah untuk mengeluarkan negerinya dari kedzaliman sang Raja. Selain itu, kelak ia disuruh berganti nama menjadi Ken Arok, yang berarti Sang Pembangun. Di kemudian hari, Ken Arok akan menang pada usahanya untuk menggulingkan Raja Akuwu Tunggul Ametung. Hingga akhirnya Ken Dedes jatuh hati kepada Ken Arok begitu pun sebaliknya.

Opini

Buku ini ternyata tidak sesuai dengan harapan saya sebelum membacanya. Kerajaan Singosari yang didirikan oleh Ken Arok tak kunjung diceritakan secara tuntas. Dibahas tetapi hanya sedikit. Padahal yang lebih saya ingin ketahui di awal adalah bagaimana Ken Arok dan Ken Dedes memimpin kerajaan Singosari. Karena sebelumnya, saya sudah tahu garis besar cerita kerajaan Tumapel yang menghadirkan kesan dramatik pada buku-buku sejarah di sekolah dasar. Justru yang ingin saya ketahui adalah berdirinya kerajaan Singosari yang tak banyak dibahas, juga kematian Ken Arok yang juga dibunuh anak tirinya sendiri. Namun saya harus berlapang dada karena apa yang saya cari tidak ada dalam buku ini. Mungkin saya akan cari referensi yang lebih banyak dari ini.

Buku ini dibuat oleh Wawan Susetya yang tak lain adalah seorang Dosen yang berpengalaman mengajar di berbagai kampus di Jawa Tengah. Jika boleh dibandingkan dengan novel lain, novel sejarah ini tidak lebih bagus dibanding novel karya Ahmad Fuadi, Ranah Tiga Warna. Karena saya menemukan kesamaan kalau penulisnya berlatar belakang aktif di bidang akademisi. Sebenarnya tidak menutup kemungkinan memang, penulis novel bisa saja berlatar belakang apapun dari bidang manapun.

Wawan Susetya adalah seorang dosen yang tentunya biasa berkutat dengan jurnal, diktat dan paper. Kenyataan itu cukup membuat jarak dengan sifat khas novel. Karya fiksi lebih condong pada imajinasi, deskriptif hiperbolis, plot yang naik turun, juga penggunaan kata dan kalimat yang cenderung tidak datar. Sepertinya penulis ingin menuangkan nilai sejarah (yang sudah di luar kepala ia kuasai) untuk bisa dipelajari, diterima dan dinikmati oleh khalayak umum, karena itu ia membalutnya dalam sebuah novel. Karena mayoritas penikmat fiksi tidak menyukai sejarah yang alasannya bisa jadi tata bahasa yang datar dan membuat jenuh pembaca dengan alurnya.

Penulis memang fokus dalam menulis novel sejarah-drama-romansa. Karyanya selain buku ini antara lain Pajang: memudarnya senyuman Dewan Wali Sanga, Brawijaya moksa: detik-detik akhir perjalanan hidup Prabu Majapahit, Karebet vs Penangsang: perebutan singgasana pasca runtuhnya Majapahit, dan masih ada 62 buku lainnya. Terlihat dari banyak karyanya, penulis berusaha membagi ilmunya di bidang sejarah, budaya dan memadukannya dengan romansa cinta melalui buku populer. Buku ini layak dibaca siapapun yang punya keingintahuan terhadap sejarah, terutama sejarah tentang kerajaan di Indonesia.

Melihat judul buku ini “Ken Dedes Sang Penggoda”, saya kurang setuju penggunaan kata Penggoda. Dalam cerita ini Ken Dedes benar merayu Ken Arok dengan alasan untuk membebaskannya dari Tunggul Ametung dan ia telah jatuh hati padanya, tapi untuk menggoda tidak. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menggoda berartimengajak (menarik-narik hati) supaya berbuat dosa atau berbuat jahat. Sedangkan merayu berarti menyenangkan hati (menyedapkan hati, menawan), spt hiburan dsb:suara merdu. Namun ini sekedar pendapat saja yang mungkin sedikit tersinggung karena nama yang ejaannya hampir mirip dengan nama saya.

Atas semua itu, setelah membaca buku ini saya jadi lebih merasa ‘kurang’ dalam pengetahuan sejarah dan masih banyak tanda tanya dalam kepala saya. Jadi lebih ingin mengetahui seluk beluk zaman manusia sebelum peradaban modern seperti sekarang. Ya, sejarah. Solusinya tentu saya harus terus membaca. Selain itu, saya telah menemukan dengan lebih detil, makna dan kandungan dari nama yang diberikan orangtua kepada saya. Ardhani Reswari, mirip kan dengan Ardhanariwari/Nareswari?

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun