Mohon tunggu...
Ardhani Reswari
Ardhani Reswari Mohon Tunggu... karyawan swasta -

just smile!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Manusia dan Prasangkanya

5 April 2014   18:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:02 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sejatinya manusia adalah makhluk yang pintar. Saat manusia mempelajari sesuatu, baik atas kehendaknya atau tidak, sedikit banyak ia akan mengingatnya. Hal itu akan memenuhi memorinya. Saling terhubung satu sama lain yang akhirnya akan menimbulkan kesimpulan.

Kesimpulan ini ada yang baik ada pula yang buruk. Saya tidak bilang kesimpulan itu benar dan salah. Karena segala sesuatu bisa dimanipulasi dan manusia punya sudut pandang yang berbeda. Ingat, manusia itu makhluk pintar.

Banyak orang menamai kesimpulan ini bernama prasangka. Entah itu prasangka baik atau prasangka buruk. Prasangka ini ada dalam pikiran manusia yang belum tentu bisa dipastikan kebenarannya.

Sebagai contoh, kemarin lalu saya pulang ke Palembang dan teman-teman bersedih. Saya tidak tahu apakah saya akan melanjutkan hidup di daerah asal atau di tempat lain. Namun suatu ketika saat saya kembali ke ibu kota Jawa Barat, ada seorang teman yang bertanya. Saya menjawab sedang liburan. Merasa bosan di rumah tanpa ada kegiatan yang membuat saya lebih ‘hidup’. Lagian saya juga kangen dengan teman-teman dekat dan para sahabat. Saya menjawab dengan jujur, meski sebenarnya tidak sepenuhnya seperti itu.

Jika teman saya ini tidak berusaha mengkonfirmasi, maka saat ini dengan keadaan saya yang tidak kembali pulang, ia akan berprasangka. “Katanya liburan, eh ternyata cuma pindah kerja.”

Lihatlah bagaimana sebuah prasangka saja bisa ‘menggoyang’ hubungan baik antar manusia. Ya, semua akan baik-baik saja, kalau prasangka itu tidak terdengar oleh saya. Jika ya, maka mungkin saya akan kembali berprasangka pada teman ini. “Eh, kok dia begitu ya? Padahal kan bisa tanya saya langsung, kenapa sampai sekarang saya tidak pulang dan dulu menjawab sedang liburan.”

Kenyataannya saya dalam keadaan menunggu panggilan untuk wawancara kerja. Saya hanya tidak ingin mendahului takdir dengan menjawab pertanyaan teman saya itu dengan ‘kerja di Bandung’. Saat itu apapun bisa terjadi. Saya bisa pulang lagi karena tidak diterima kerja atau saya akan menetap untuk sementara waktu. Rencana belum pasti.

Kalau kita berpikir lebih dalam, teman saya tentu bisa memilih untuk berprasangka seperti ini: “Oh, sekarang sudah kerja. Syukurlah kalau begitu, jadi bisa ketemuan lagi. Dekat.” Jika mendengar seorang teman berprasangka baik kepada saya maka saya pun akan bereaksi positif demi menyenangkannya. “Iya, terimakasih. Jadi kangen, nih. Kapan bisa ketemu?”

Ah, hidup memang nggak asyik kalau dunia hanya hitam putih. Anda baik, saya baik. Anda jahat saya jahat. Agar sama-sama nyaman, anda harus baik dan saya harus baik, tak ada kejahatan. Kalau terus begitu hidup akan jadi sangat membosankan bukan?

Hidup itu dinamis. Hidup akan lebih bervariasi dengan adanya masalah. Hidup akan merasa lebih hidup jika kita merasa berbeda dengan kita yang kemarin. Saya tidak menyesalkan kenapa manusia diberi prasangka baik dan buruk oleh Tuhan. Karena dari sana kita bisa belajar. Toh salah satu tugas manusia di bumi kan belajar.

Hanya saja yang saya sesalkan kadang manusia sulit belajar dari ketidakbenaran. Di sini ego yang muncul. Dan akibatnya bisa membuat hubungan manusia jadi tidak sebaik sebelumnya. Sayang sekali kan? Padahal kita tahu, manusia akan sulit hidup jika berkutat dalam prasangka buruk. Semoga jadi pelajaran berharga. Terutama buat saya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun