Mohon tunggu...
Ardhani Reswari
Ardhani Reswari Mohon Tunggu... karyawan swasta -

just smile!

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Semestaku

26 Januari 2015   06:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:22 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semua bermula dari obrolan kecil pagi dengan kawan. Tentang mengaji dengan jamaah atau tidak. Sekte menyimpang, aturan ini itu yang saklek. Tentang pembenaran suatu golongan tertentu, merasa paling benar atau cenderung bersifat universal. Lebih sederhana dalam memandang segala sesuatu. Tasawuf, filsuf, visi misi manusia, hakikat, kesejatian, melangit, membumi, Tuhan, Allah.

Saya, yang selama ini sudah menutup diri, jadi lebih berpikir ke dalam. Lagi-lagi hal seperti ini berulang. Ah, learning memang never ending. Meski memang melelahkan. Tapi, mau seberapa jauh saya menghindar, mau secuek apapun saya berusaha tidak peduli, tapi kalau menurut Allah ‘itu’ buat saya, ya dikasih aja deh.

‘Itu’ dalam artian, informasi untuk saya pribadi. Informasi di luar sana. Ya, di luar diri saya, di luar lingkungan saya, di luar rutinitas saya setahun ke belakang. Apapun bentuknya. Berita politik, bencana, tragedi, chaos di medsos inilah, itulah, sampai perkembangan isu terkini.

Saya membangun tembok setinggi mungkin. Menutup diri dari informasi yang sekiranya tidak penting buat saya. Mulai dari media sosial apa pun bentuknya. Facebook, twitter, watsap dan serentet merek media sosial yang lain. Membaca buku-buku berkualitas, menambah referensi acuan, mendengar berita, memfilter informasi se-objektif mungkin. Saya mengisolasi diri sendiri.

Entah, mungkin saya sudah capek dengan segala masalah di luar diri saya. Pun diri ini masih ‘galau’ dengan sekelumit kehidupan duniawi. Kalau harus ditambah dengan segudang aktivitas lain, saya malah makin berpikir, sebenarnya saya hidup untuk siapa sih? Penting ya buat saya tahu?

Dan ternyata saya sudah salah jalan. Ow, bukan. sepertinya itu bukan kalimat yang tepat. Atau bisa dibilang saya hanya menyengajakan diri untuk menyimpang. Mengistirahatkan diri dari kelelahan mempelajari segala hal. Meski saya tidak tahu akan sampai kapan maju lagi.

Hingga tiba saat ini. Ketika saya harus mengeluarkan isi kepala saya satu persatu. Ketika saya sudah tidak bisa lagi berdiam diri. Mengurai semua benang kusut dalam pikiran. Walau saya yakin, akan butuh waktu lama mengurainya. Mungkin hingga bertahun-tahun.

Kenapa bisa lama sekali? Ya keleeeuuuussss, di dalam otak tuh ada berapa banyak neuron sih? Ya keleeeuuuussss, makhluk sehebat manusia bisa sepinter Einstenin. Bisa sekeren Aljabar, Ibnu Sina, Imam Syafi’ie. B.J Habibie aja masih terus berkarya kok. Da manusia mah selalu berproses atuh. Mungkin cuma nabi Isa yang baru lahir udah bisa langsung ngomong. Tidak terkecuali dengan saya, berproses.

Maka, sekarang saya merasa ada sebuah letupan di hati. Dari obrolan kawan yang membuat saya harus kembali ke jalan yang benar. Saya sudah diam terlalu lama. Mengangguk-angguk seolah mengiyakan informasi yang ‘terpaksa’ saya telan bulat-bulat.

Seperti orang fasik yang cari aman. Saya sudah menyia-nyiakan waktu saya terbuang percuma dengan cara menjebak diri dalam rutinitas. Bentuk pelarian diri dari keengganan belajar semesta kehidupan.

Bagai disetrum listrik dengan tegangan kecil saja. Bikin kaget dan ‘terbangun’ dari mati suri mempelajari semuanya. Dan saya harus bertekad untuk kemauan ini. Otak ini sudah lama tak digunakan. Seperti mesin mobil yang tak pernah digunakan. Teronggok begitu saja di pinggir jalan dengan tulisan ‘DIJUAL’. Hahaha.. tidak. Otak saya tidak dijual.

Hanya butuh waktu untuk memanaskan mesinnya agar kinerjanya optimal. Butuh waktu untuk membuka diri, membuka pintu hati pelan-pelan. Karena engsel pintunya mungkin sudah karatan. Akan berbunyi ‘kreeek’ seperti di film-film horor karena tak pernah dibuka dalam jangka waktu yang lama. Dan sinar yang masuk pun harus izin baik-baik. Semua cahaya tak bisa memberondong merangsek masuk seenaknya. Bisa-bisa saya jadi buta.

Lalu, semoga semangat ini terus bertahan. Layaknya bara api yang terus diberi minyak tanah. Semoga hanya akan padam sampai tubuh benar-benar renta. Semoga ini bisa jadi resolusi saya yang terus diperbarui sepanjang tahun. Tidak seperti istilah ‘anget-anget tai ayam’ saja.

Walau saya tahu, setiap hari esok adalah misteri. Akan lebih baik atau lebih buruk. Akan bermanfaat, optimis, penuh kepercayaan diri, atau sebaliknya penuh aura negatif, merugi, bangkrut atau bahkan rendah diri.

Ah, ini baru prolog saja. Saya belum mengayakan diri kembali dengan segala bahan infromasi terbaik dari penjuru dunia. Need the time. Maka kesabaran adalah kuncinya. Ketergesaan hanya akan menimbulkan ketidakmatangan. Dan saya menantikan opini saya dalam bentuk tulisan lain. Yang lebih tajam, nendang tapi penuh kebaikan.

Prolog ini juga sebagai bentuk jawaban atas semua kebisuan saya selama ini. Membeo saat dikatakan a, b dan c. Atas ketidakpedulian saya terhadap dunia. Maka lihatlah, saya pun ingin membuktikan diri, mengalahkan diri sendiri atas semua benang kusut di kepala.

Khairunnaas anfa’uhum linnaas. Maka saya memilih jalan tulisan sebagai bentuk mikrofon saya. Bersiap. Welcome to the jungle, kawan!

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun